![]() |
| Ilustrasi bonus demografi |
Rabu, 02 Maret 2016
Indonesia merupakan Negara berkembang dengan jumlah
penduduk ke-4 terbanyak di dunia. Menurut data resmi sensus penduduk pada tahun
2010 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia memiliki jumlah penduduk
sebanyak 237,6 juta jiwa dan diprediksi akan terus meningkat setiap tahunnya. Bahkan,
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memproyeksikan bahwa jumlah
penduduk Indonesia pada tahun 2035 mendatang berjumlah 305,6 juta jiwa. Jumlah
ini meningkat 28,6 persen dari tahun 2010.
Sedangkan pada tahun 2015 BPS memproyeksikan jumlah penduduk Indonesia adalah
252,2 juta jiwa. Peningkatan
jumlah penduduk seperti ini sebenarnya sudah diminimalisir dengan adanya Gerakan
Keluarga Berencana Nasional Indonesia yang dimulai sejak tahun 70-an. Meski begitu,
jumlah penduduk Indonesia masih terus meningkat dan ditambah lagi dengan
meningkatnya penduduk berusia produktif (usia 15 tahun sampai 65 tahun) atau
yang diistilahkan sebagai bonus demografi.
Mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)
atau Kepala Bappenas periode 2009-2014 Armida S Alisjahbana
mengatakan, Indonesia
telah memasuki bonus demografi (rasio ketergantungan terhadap penduduk tak
produktif) sejak tahun 2012, yakni 49,6 persen. . Itu artinya, setiap 100 orang
penduduk usia produktif menanggung 50
orang penduduk usia tidak produktif (< 15 tahun dan ≥ 65 tahun). Atas dasar itu, penduduk
Indonesia yang produktif lebih banyak daripada penduduk yang tak produktif. Pada tahun 2010, proporsi
penduduk usia produktif adalah sebesar 66,5 persen. Proporsi ini terus
meningkat mencapai 68,1 persen pada tahun 2028 sampai tahun 2031. Meningkatnya
jumlah penduduk usia produktif menyebabkan menurunnya angka ketergantungan,
yaitu jumlah penduduk usia tidak produktif yang ditanggung oleh 100 orang
penduduk usia produktif dari 50,5 persen pada tahun 2010 menjadi 46,9 persen
pada periode 2028-2031. Tetapi angka ketergantungan ini mulai naik kembali
menjadi 47,3 persen pada tahun 2035.
Sementara
itu, menurut data BPS jumlah angkatan kerja tahun 2015 di Indonesia sebanyak
128,3 juta orang. Pada tahun 2015, angka rasio ketergantungan sebesar 48,6. Itu
artinya, setiap 100 orang penduduk usia produktif menanggung 49 orang penduduk
usia tidak produktif (< 15 tahun dan ≥ 65 tahun). Namun rasio ketergantungan
cenderung menurun belakangan setelah sempat mencapai 70% dan diperkirakan akan
mencapai titik terendah pada 2020-2030. Hal ini sejalan dengan
laporan PBB, yang menyatakan bahwa dibandingkan dengan negara Asia lainnya,
angka ketergantungan penduduk Indonesia akan terus turun sampai 2020. Pada
periode itu akan terdapat peluang lebih besar untuk melakukan investasi manusia
guna mendorong produksi.
Gambaran konkretnya, jika rasio
ketergantungan pada tahun 1971 masih tercatat angka 86, maka pada 2000 turun
menjadi 54,7 dan turun lagi menjadi hanya 51 pada 2010. Artinya, jika setiap
100 penduduk usia produktif pada 1971 harus membiayai hidup sebanyak 86
penduduk usia tidak produktif, maka tahun 2000 turun menjadi 54,7 penduduk dan
turun lagi menjadi hanya 51 penduduk pada 2010.
Sepuluh tahun berikutnya, tahun 2020, angka ketergantungan itu
diperkirakan akan mengalami titik paling rendah karena setiap 100 penduduk usia
produktif hanya akan menanggung 44 penduduk tidak produktif dan diperkirakan
akan berlangsung hingga 2030. Jelasnya, jumlah maupun besarnya proporsi
penduduk yang potensial bisa bekerja—sering disebut juga sebagai mesin
pertumbuhan (engine of growth)— dalam periode 10 tahun itu akan mencapai
dua kali lipat lebih dibanding jumlah dan proporsi penduduk yang harus mereka tanggung.
Dampak ekonomisnya, pada saat itu
diharapkan akan lebih banyak lagi jumlah penduduk yang bisa menghasilkan dan
menabungsertamenginvestasikan kembali tabungannya untuk terus meningkatkan
produktivitas dan kesejahteraannya. Inilah momentum bagi bangsa Indonesia,
dengan jumlah penduduknya terbesar keempat di dunia, untuk bangkit dari
berbagai ketertinggalannya termasuk meningkatkan pertumbuhan ekonominya.
Itulah fenomena demografis sekaligus
jendela peluang (window of opportunity), yang oleh para pakar
kependudukan disebut “bonus demografi” (demographic dividend) yang akan
terjadi hanya satu kali dalam sejarah kependudukan sebuah bangsa. Mengapa?
Karena setelah kurun waktu 2030, angka ketergantungan itu diperkirakan akan kembali
mengalami peningkatan. Bukan
karena adanya peningkatan usia di bawah 15 tahun, melainkan karena semakin
meningkatnya penduduk lansia sebagai dampak dari semakin meningkatnya rata-rata
usia harapan hidup. Dalam evolusi kependudukan, sebuah negara akan mengalami
sekaligus menikmati bonus demografi ketika angka ketergantungan penduduknya
berada di rentang antara 40–50, yang berarti bahwa 100 orang usia produktif
hanya menanggung 40–50 penduduk usia tidak produktif.
Dengan kriteria di atas, tercatat
sejumlah negara di Eropa yang telah melewati masa keemasan bonus demografinya
karena terjadi secara bervariasi antara 1950–2000. Sementara China sudah mulai
menikmati bonus demografinya sejak 1990 dan akan berlangsung hingga 2015. India,
hampir sama dengan Indonesia, terjadi mulai 2010, disusul negara-negara di
belahan Afrika yang bonus demografinya diperkirakan akan datang lebih lambat
lagi dan akan berakhir hingga 2045.
Namun, peluang emas yang merupakan
bonus demografi itu tidak akan terjadi secara linier, apalagi datang begitu
saja secara taken for granted. Artinya, butuh prasyarat untuk bisa
mewujudkannya. Butuh konsep matang dan realistik untuk mempersiapkannya.
Menteri
PPN/Kepala Bappenas Andrinof Chaniago yang menjadi salah satu pembicara forum High-level Dialogue on
Capitalizing on the Demographic Dividend yang diselenggarakan berkat
kerja sama Ikatan Praktisi dan Ahli Demografi Indonesia (IPADI) serta United
Nations Population Fund (UNFPA) tahun 2015 menggaris bawahi pentingnya
kesiapan Indonesia menyambut tahun 2020-2030, periode terjadinya bonus
demografi, yakni bonus yang dinikmati karena besarnya proporsi penduduk
produktif dalam rentang usia 15-64 tahun. Menteri Andrinof mengungkapkan
manfaat bonus demografi bisa dinikmati dengan dua cara jitu, meningkatkan
kualitas penduduk dan menelaah mobilitas penduduk. Untuk mewujudkan generasi
berkualitas, masyarakat harus memiliki etos kerja yang gigih guna meningkatkan
produktivitas. UNFPA Executive
Director and Chair of the WEF Global
Council on the Demographic Dividend Babatunde Osotimehin juga menyatakan
kualitas penduduk menjadi kunci keberhasilan Indonesia dalam memanfaatkan bonus
demografi. Seiring dengan pentingnya fokus pembangunan infrastuktur,
Indonesia juga harus fokus pada pembangunan non fisik. Indonesia butuh investasi
di edukasi formal dan vokasional serta kesehatan.
Karena itu, paling tidak ada dua
agenda besar yang harus dilakukan bangsa pada saat ini. Agenda besar pertama dan utama adalah
menyangkut upaya untuk terus meningkatkan sekaligus mengakselerasi pendidikan penduduknya,
termasuk derajat kesehatannya. Logikanya, bagaimana mungkin produktivitas
penduduk muda itu bisa ditingkatkan jika kebanyakan di antara mereka hanya
memiliki ijazah SD atau SMP seperti umumnya potret saat ini. Bagaimana
mungkin produktivitas penduduk usia muda itu juga bisa ditingkatkan jika
kondisi fisik mereka begitu rentan dengan banyak penyakit lantaran kekurangan
gizi dan sebagainya. Jangan lupa, bagaimana mungkin produktivitas penduduk usia
muda itu juga bisa ditingkatkan jika pemerintah gagal menyediakan lapangan
kerja yang mereka butuhkan. Di situlah pula relevansinya bagi
bangsaini—salahsatunya—untuk terus mengembangkan lebih banyak sekolah, termasuk
perguruan tinggi berbasis vokasi atau kejuruan yang diarahkan pada upaya
memperkuat sekaligus memperluas pusat-pusat pertumbuhan ekonomi setiap wilayah.
Agenda besar kedua adalah peningkatan
kualitas program Keluarga Berencana (KB) supaya kedepannya program ini
dapat lebih luas dan merata dalam
menjangkau setiap keluarga Indonesia agar jumlah anak setiap keluarga dapat semakin
dikontrol. Pasalnya, jika kualitas program KB tidak
mengalami kemajuan maka angka kelahiran (fertilitas) dapat kembali meningkat, dan
hampir bisa dipastikan bahwa angka ketergantungan penduduk juga akan kembali
mengalami peningkatan. Dampaknya, peluang emas yang diproyeksikan bakal terjadi
pada 2020–2030 itu bukan saja akan mengalami kemunduran melainkan juga akan
sulit diwujudkan.
Bonus
demografi memang merupakan berkah bagi suatu Negara, namun juga bisa jadi
bencana jika Negara tidak menyiapkan sedari dini akan datangnya masa bonus
demografi tersebut. Semoga saja Indonesia bisa menjadi salah satu Negara yang
dapat memetik buah manis dari bonus demografi yang diproyeksikan akan terjadi
pada tahun 2020-2030 tersebut.
Salam GenRe. J
Sumber :
http://www.academia.edu/7188182/BONUS
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

0 komentar: