Sabtu, 19 Maret 2016

Pembangunan Berwawasan Kependudukan Dalam Rangka Pembangunan Berkelanjutan Indonesia

Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, penduduk harus menjadi titik sentral dalam pembangunan nasional Indonesia. Pembangunan nasioanal adalah upaya untuk meningkatkan seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang sekaligus merupakan proses pembangunan keseluruhan sistem penyelenggaraan negara untuk mewujudkan tujuan nasional. Dalam pengertian lain, pembangunan mewujudkan nasional dapat diartikan sebagai rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan nasional dapat diartikan sebagai rangkaian upaya pembangunan yang untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional.
Perkembangan jaman yang semakin pesat melahirkan tantangan yang harus dihadapi manusia semakin besar pula. Tidak hanya dalam satu Negara tetapi hampir di seluruh belahan bumi manapun. Adanya isu pemanasan global, isu perdagangan bebas, bahkan teknologi yang semakin berkembang pun dapat menjadi tantangan manusia saat ini. Karena teknologi memiliki dua sisi seperti pedang. Maka sebuah konsep bertahan harus dimiliki oleh manusia, begitu juga Negara sebagai tempat manusia ini bernaung. Hingga muncullah konsep pembangunan berkelanjutan.
Sumber: http://mascerdas.blogspot.co.id/2015/10/pembangunan-berkelanjutan.html
Sejarah lahirnya prinsip pembangunan berkelanjutan ditandai dengan terbentuknya World Commmission on Environment and Development (Komisi Dunia untuk Pembangunan dan Lingkungan) pada tahun 1984, yang diketuai oleh Ny. Gro Harlem Brundtland, Perdana Menteri Norwegia, selanjutnyaa komisi ini lazim pula disebut dengan Komisi Brundtland. Komisi ini bertugas untuk menganalisis dan memberi saran bagi proses pembangunan berkelanjutan, yang laporannya terangkum dalam buku Our Common Future, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi “Hari Depan Kita Bersama”. Komisi ini terdiri dari 9 orang mewakili negara maju dan 14 orang mewakili negara berkembang. Salah satu anggotanya adalah Emil Salim dari Indonesia, yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Pada tanggal 3 sampai 14 Juni 1992, PBB melakukan konferensi tentang Lingkungan dan Pembangunan (United Nations Conference on Environment and Development, UNCED) di Rio de Janeiro, Brasil atau yang lebih popular dengan Konferensi Tingki Tinggi Bumi di Rio (KTT Rio). Salah satu isu yang sangat penting yang menjadi dasar pembicaraan di KTT Rio adalah prinsip Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development).
Pengertian dari Sustainable Development menurut Komisi Brundtland adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhannya, dalam bahasa Inggris terumuskan berupa : if it meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs. Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu proses pembangunan yang secara berkelanjutan mengoptimalkan manfaat dari sumber alam dan sumberdaya manusia dengan cara menyerasikan aktivitas manusia sesuai dengan kemampuan sumber alam yang tersedia. Pembangunan berkelanjutan juga memiliki arti pembangunan yang terencana di segala bidang untuk menciptakan perbandingan ideal antara perkembangan kependudukan dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan serta memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa harus mengurangi kemampuan dan kebutuhan generasi mendatang, sehingga menunjang kehidupan bangsa.
Dengan demikian strategi pembangunan berkelanjutan bermaksud mengembangkan keselarasan baik antara umat manusia dengan alam. Keselarasan tersebut tentunya tidak bersifat tetap, melainkan merupakan suatu proses yang dinamis. Proses pemanfaatan sumberdaya, arah investasi, orientasi pengembangan teknologi, serta perubahan kelembagaan diselenggarakan secara konsisten dengan kebutuhan masa kini dan masa depan. Oleh karena itulah dalam pembangunan berkelanjutan, proses pembangunan ekonomi harus disesuaikan dengan kondisi penduduk serta sumberdaya alam dan lingkungan yang ada di suatu wilayah tertentu. Jadi, integrasi atau pembauran antara masalah kependudukan dan pembangunan nasional menjadi hal penting.
Ada beberapa alasan yang melandasi pemikiran bahwa kependudukan merupakan faktor yang sangat strategis dalam kerangka pembangunan nasional. Pertama, kependudukan, atau dalam hal ini adalah penduduk, merupakan pusat dari seluruh kebijaksanaan dan program pembangunan yang dilakukan. Dalam GBHN dengan jelas dikemukakan bahwa penduduk adalah subyek dan obyek pembangunan. Sebagai subyek pembangunan maka penduduk harus dibina dan dikembangkan sehingga mampu menjadi penggerak pembangunan. Sedangkan penduduk sebagai objek pembangunan yaitu penduduk sebagai sasaran dari hasil pembangunan. Pada hakikatnya pembangunan itu ditujukan untuk kemaslahatan manusia, maka dari itu hasil dari pembangunan harus dapat dirasakan manfaatnya oleh penduduk. penduduknya. Dengan demikian jelas bahwa pembangunan harus dikembangkan dengan memperhitungkan kemampuan penduduk agar seluruh penduduk dapat berpartisipasi aktif dalam dinamika pembangunan tersebut. Sebaliknya, pembangunan tersebut baru dikatakan berhasil jika mampu meningkatkan kesejahteraan penduduk dalam arti yang luas.
Kedua, keadaan dan kondisi kependudukan yang ada sangat mempengaruhi dinamika pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Jumlah penduduk yang besar jika diikuti dengan kualitas penduduk yang memadai akan merupakan pendorong bagi pertumbuhan ekonomi. Kualitas penduduk sangat terkait dengan kemampuan penduduk untuk dapat mengolah dan memanfaatkan sumber daya alam yang ada di sekitarnya, guna memenuhi kebutuhan hidup serta meningkatkan kesejahteraannya. Indikator kualitas atau mutu dari sumber daya manusia dapat dilihat dari beberapa aspek seperti; tingkat pendidikan, pendapatan, tingkat kesehatan, dan lain-lain. Sebaliknya jumlah penduduk yang besar jika diikuti dengan tingkat kualitas yang rendah, menjadikan penduduk tersebut sebagai beban bagi pembangunan. Ketiga, dampak perubahan dinamika kependudukan baru akan terasa dalam jangka yang panjang. Karena  dampaknya baru terasa dalam jangka waktu yang panjang, sering kali peranan penting penduduk dalam pembangunan terabaikan. Sebagai contoh,beberpa ahli kesehatan memperkirakan bahwa krisis ekonomi dewasa ini akan memberikan dampak negatif terhadap kesehatan seseorang selama 25 tahun kedepan atau satu genarasi. Dengan demikian, dapat dibayangkan bagaimana kondisi sumberdaya manusia Indonesia pada generasi mendatang, 25 tahun setelah tahun 1997. demikian pula, hasil program keluarga berencana yang dikembangkan 30 tahun yang lalu (1968), baru dapat dinikmati dalam beberapa tahun terakhir ini. Dengan demikian, tidak diindahkannya dimensi kependudukan dalam rangka pembangunan nasional sama artinya dengan “menyengsarakan” generasi berikutnya.
Kemudian lebih terkait dengan integrasi penduduk dengan pembangunan, perlu penguatan kebijakan dalam pembangunan berwawasan kependudukan. Apa yang dimaksud dengan pembangunan berwawasan kependudukan? Secara sederhana pembangunan berwawasan kependudukan mengandung dua makna sekaligus yaitu, pertama, pembangunan berwawasan kependudukan adalah pembangunan yang disesuaikan dengan potensi dan kondisi penduduk yang ada. Penduduk harus dijadikan titik sentral dalam proses pembangunan. Penduduk harus dijadikan subyek dan obyek dalam pembangunan. Pembangunan adalah oleh penduduk dan untuk penduduk. Makna kedua dari pembangunan berwawasan kependudukan adalah pembangunan sumberdaya manusia. Pembangunan yang lebih menekankan pada peningkatan kualitas sumberdaya manusia dibandingkan dengan pembangunan infastruktur semata.
Jargon pembangunan berwawasan kependudukan sudah lama didengar dalam bentuk dan format lain, namun masih mengalami banyak hambatan dalam pelaksanaannya. Sudah lama didengung-dengungkan mengenai penduduk sebagai subyek dan obyek pembangunan. Atau jargon mngenai pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Atau pembangunan bagi segenap rakyat. Sudah saatnya jargon tersebut diimplementasikan dengan sungguh-sungguh jika tidak ingin mengalami krisis ekonomi yang lebih hebat lagi dimasa mendatang. Dengan demikian, indikator keberhasilan ekonomi harus dirubah dari sekedar GNP atau GNP per kapita menjadi aspek kesejahteraan atau memakai terminologi UNDP adalah HDI (Human Development Index). Memang dengan menggunakan strategi pembangunan berwawasan kependudukan untuk suatu pembangunan ekonomi akan memperlambat tingkat pertumbuhan ekonomi. Namun ada suatu jaminan bahwa perkembangan ekonomi yang dicapai akan berkesinambungan (sustainable). Sebaliknya pertumbuhan ekonomi yang tinggi hanya akan membawa pada peningkatan ketimpangan pendapatan. Industrialisasi dan liberialisasi yang terlalu cepat memang akan meningkatkan efisiensi dan produktivitas namun sekaligus juga meningkatkan pengangguran dan setengah menganggur. [1]
Mengapa selama ini Indonesia mengabaikan pembangunan berwawasan kependudukan? Hal ini tidak lain karena keinginan pemerintah untuk mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi yang harus senantiasa tinggi. Pertumbuhan ekonomi menjadi satu-satunya ukuran keberhasilan pembangunan nasional. Walaupun Indonesia memiliki wawasan trilogi pembangunan yaitu pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas, namun pada kenyataannya pertumbuhan senantiasa mendominasi strategi pembangunan nasional. Strategi pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan tanpa melihat potensi penduduk serta kondisi sumberdaya alam dan lingkungan yang ada nyatanya tidaklah berlangsung secara berkesinambungan (sustained).
Sebenarnya perhatian pemerintah terhadap kependudukan dimulai sejak pemerintah Orde Baru memegang kendali. Konsep “Pembangunan Manusia Seutuhnya” yang tidak lain adalah konsep “Pembangunan Kependudukan” mulai diterapkan dalam perencanaan pembangunan Indonesia yang sistematis dan terarah sejak Repelita 1 pada tahun 1986. Namun sedemikian jauh, walaupun dalam tatanan kebijaksanaan telah secara sungguh-sungguh mengembangkan konsep pembangunan yang berwawasan kependudukan, pemerintah nampaknya belum dapat secara optimal mengimplementasikan dan mengintegrasikan kebijaksanaan tersebut.
Dalam hal  mengintegrasikan dimensi kependudukan dalam perencanaan pembangunan (baik nasional maupun daerah) maka manfaat paling mendasar yang diperoleh adalah besarnya harapan bahwa penduduk yang ada didaerah tersebut menjadi pelaku pembangunan dan penikmat hasil pembangunan. Itu berarti pembangunan berwawasan kependudukan lebih berdampak besar pada peningkatan kesejahteraan penduduk secara keseluruhan dibanding dengan orientasi pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan (growth). Dalam pembangunan berwawasan kependudukan ada suatu jaminan akan berlangsung proses pembangunan itu sendiri. Pembangunan berwawasan kependudukan menekankan pada pembangunan lokal, perencanaan berasal dari bawah (bottom up planning), disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat lokal, dan yang lebih penting adalah melibatkan seluruh lapisan masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan.
Pembangunan berwawasan kependudukan menurut pada strategi pembangunan yang bersifat ‘bottom-up planning’. Melalui pendekatan ini, tujuan utama seluruh proses pembangunan adalah lebih memeratakan kesejahteraan penduduk daripada mementingkan tingkat pertumbuhan ekonomi. Karena itu pendekatan ‘bottom-up’ berupaya mengoptimalkan penyebaran sumberdaya yang dimiliki dan potensial ke seluruh wilayah dan membangun sesuai dengan potensi dan masalah khusus yang dihadapi oleh daerah masing-masing. Pendekatan bottom-up mengisyaratkan kebebasan daerah atau wilayah untuk merencanakan pembangunan sendiri sesuai dengan keperluan dan keadaan daerah masing-masing. Pendekatan ini lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah. Otonomi daerah ini bertujuan agar setiap daerah mampu mengatur dan menjalankan berbagai kebijaksanaan yang dirumuskan sendiri guna peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah atau kawasan yang bersangkutan. Melalui otonomi daerah, yang berarti adalah desentralisasi pembangunan, maka laju pertumbuhan antar daerah akan semakin seimbang dan serasi, sehingga pelaksanaan pembangunan nasional serta hasil-hasilnya semakin merata di seluruh Indonesia.
Beberapa kata kunci yang perlu diberikan penekanan pada pembangunan daerah adalah (1) pembangunan daerah disesuaikan dengan prioritas dan potensi masing-masing daerah, dan (2) adanya keseimbangan pembangunan antar daerah. Kata kunci pertama mengandung makna pada kesadaran pemerintah untuk melakukan desentralisasi pembangunan terutama berkaitan dengan beberapa sektor pembangunan yang dipandang sudah mampu dilaksanakan di daerah masing-masing, berarti pengambilan keputusan pembangunan berada pada tingkat daerah. Kata kunci kedua mengandung makna adanya kenyataan bahwa masing-masing daerah memiliki potensi, baik alam, sumberdaya manusia maupun kondisi geografis yang berbeda-beda, yang menyebabkan ada daerah yang memiliki potensi untuk berkembang secara cepat. Sebaliknya ada pula daerah yang kurang dapat berkembang karwena berbagai keterbatasan yang dimilikinya. Adanya perbedaan potensi antar daerah ini menyebabkan peran pemerintah pusat sebagai ‘pengatur kebijaksanaan pemabngunan nasional’ tetap diperlukan agar timbul keselarasan, keseimbangan dan keserasian perkembangan semua daerah. Baik yang memiliki potensi yang berlebihan maupun yang kurang memiliki potensi. Dengan demikian, melalui otonomi dalam pengaturan pendapatan, sistem pajak, keamanan warga, sistem perbankan, dan berbagai pengaturan lain yang diputuskan daerah sendiri, pembangunan setempat dijalankan.
Sesuai dengan buku “Grand Design Pembangunan Kependudukan Tahun 2011-2035” yang dikeluarkan oleh Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, saat ini pembangunan kependudukan Indonesia lebih dipokokkan pada pengendalian kuantitas penduduk, pengingkatan kualitas penduduk, strategi pembangunan keluarga, pengarahan mobilitas penduduk, serta pembangunan sistem data dan informasi kependudukan.
Pengelolaan kuantitas penduduk pada dasarnya diarahkan untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk melalui pengaturan kelahiran. Kebijakan pengaturan kelahiran/fertilitas dilakukan melalui pemenuhan hak reproduksi untuk mencapai kesehatan reproduksi yang prima melalui program KB yang mengatur tentang: (1) Usia ideal perkawinan; (2) Usia ideal melahirkan; (3) Jarak ideal melahirkan; dan (4) Jumlah ideal anak yang dilahirkan.  Pengaturan fertilitas melalui program KB dilakukan dengan: (1) Peningkatan akses dan kualitas KIE serta pelayanan kontrasepsi di daerah. (2) Larangan pemaksaan pelayanan KB karena bertentangan dengan HAM, (3) Pelayanan kontrasepsi dilakukan sesuai dengan norma agama, budaya, etika dan kesehatan, serta (4) Perhatian bagi penyediaan kontrasepsi bagi penduduk miskin di daerah terpencil, tertinggal, dan perbatasan.
Selain pengaturan kelahiran, pengendalian kuantitas penduduk juga dilakukan dengan upaya penurunan mortalitas (angka kematian). Penurunan angka kematian bertujuan untuk mewujudkan penduduk tumbuh seimbang dan berkualitas pada seluruh dimensinya. Penurunan angka kematian ini diprioritaskan pada upaya (1) penurunan angka kematian ibu hamil, (2) penurunan angka kematian ibu melahirkan, (3) penurunan angka kematian pasca melahirkan, serta (4) penurunan angka kematian bayi dan anak.
Peningkatan kualitas penduduk mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi kesehatan dan dimensi pendidikan. Strategi di bidang kesehatan dilakukan untuk menurunkan angka kematian bayi dan anak serta keamtian maternal. Untuk itu, strategi utama yang harus dilakukan adalah melakukan pencegahan dan treatment penyakit infeksi, khususnya pada bayi dan anak-anak. Strategi penurunan kematian maternal sangat erat kaitannya dengan program KB sehingga strategi yang dijalankan untuk pelaksanaan program KB juga akan memberikan kontribusi terhadap penurunan angka kematian maternal. Dari sisi pendidikan, strategi yang harus dilakukan adalah memberikan akses yang sebesar-besarnya kepada kelompok rentan, khususnya penduduk miskin, untuk memperoleh pendidikan. Penurunan gender gap dalam hal akses terhadap pelayanan pendidikan juga penting sebagai prioritas, khususnya untuk mengatasi masalah di berbagai daerah yang masih lebar kesenjangan pendidikan antara laki-laki dan perempuan
Dalam konteks perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga perlu memperoleh perhatian khusus guna terlaksanannya pembangunan nasional yang berkelanjutan. Penempatan penduduk sebagai titik sentral pembangunan tidak saja merupakan program nasional namun juga komitmen hampir seluruh bangsa di dunia yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagaimana lertuang dalam Laporan situasi Kependudukan Dunia yang mengumumkan bahwa "penduduk bumi akan mencapai 7 (tujuh) milyar" tanggal 31 Oktober 20Il. Untuk melaksanakan perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga diperlukan suatu lembaga yang kuat [3].
Program pembangunan keluarga menjadi unggulan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional yang akan disinergikan bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Program pembangunan keluarga ditujukan untuk peningkatan ketahanan dan kesejahteraan keluarga. Program ini menyatu antara BKKBN dan Kementerian PPPA dari pusat sampai daerah. Pembangunan keluarga mempunyai sasaran yaitu seluruh keluarga Indonesia yang terdiri dari keluarga dan siklus keluarganya; keluarga yang memiliki potensi dan sumber kesejahteraan sosial; keluarga rentan secara ekonomi, sosial, lingkungan, maupun budaya; serta keluarga yang bermasalah secara ekonomi dan sosial psikologis. Strategi yang dilakukan yaitu dengan, (1) membangun keluarga yang bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa melalui pendidikan etika, moral, dan sosial budaya secara formal maupun informal, (2) membangun iklim berkeluarga berdasarkan perkawinan yang sah, (3) membangun keluarga harmonis, sejahtera, sehat, maju dan mandiri, (4) membangun keluarga berwawasan nasional dan berkontribusi kepada bangsa dan Negara melalui kegiatan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) keluarga, serta (5) membangun keluarga yang mampu merencanakan sumber daya dengan pendampingan manajemen sumber daya keluarga.
Selain itu, dalam upaya peningkatan kualitas anak dan balita program Bina Keluarga Balita atau BKB menjadi program bersama yang dikembangkan agar anak mendapatkan perlindungan dan pengasuhan yang baik dari keluarganya. Program ini merupakan upaya untuk mengingatkan para orang tua tentang pentingnya pengasuhan dan gizi anak di 1.000 hari pertama kehidupan. BKKBN juga meningkatkan berbagai program terkait remaja melalui generasi berencana (GenRe). GenRe merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas remaja dan khususnya perempuan. Tujuannya agar para remaja dapat terhindar dari seks bebas, napza dan HIV/AIDS. Program ini diharapkan mampu mendewasakan usia perkawinannya,  menghindarkan remaja putri dari kehamilan tidak diinginkan yang dapat meningkatkan kematian ibu [2].
Pengarahan mobilitas penduduk bertujuan untuk mewujudkan persebaran penduduk optimal yang didasarkan pada keseimbangan jumlah penduduk dengan daya dukung alam dan daya tampung lingkungan. Mobilitas penduduk dibagi menjadi 2 kategori, yaitu mobilitas penduduk internal dan mobilitas penduduk internasional.
Mobilitas penduduk internal mencakup hal-hal berikut: (1) Mobilitas penduduk permanen dan non permanen; (2) Mobilitas penduduk ke daerah penyangga dan ke pusat pertumbuhan ekonomi baru; (3) Penataan persebaran penduduk melalui kerjasama daerah; (4) Urbanisasi; dan (5) Persebaran penduduk ke daerah perbatasan dan daerah tertinggal serta pulau-pulau kecil terluar. Strategi pengarahan mobilitas penduduk dilakukan melalui pengupayaan peningkatan mobilitas nonpermanent dengan cara menyediakan berbagai fasilitas sosial, ekonomi, biudaya, dan administrasi di beberapa daerah yang diproyeksikan sebgai daerah tujuan mobilitas penduduk, serta untuk mengurangi mobilitas penduduk ke kota megapolitan, seperti Jakarta dan supaya hal itu tidak terulang di luar Jawa, perlu adanya penataan wilayah penyangga dengan mengembangkan daerah tujuan transmigrasi yang secara khusus diintegrasikan dengan kota besar sekitarnya. Transmigrasi seharusnya tidak terkesan membuang penduduk ke wilayah terpencil, tetapi benar-benar menonjolkan napas distribusi penduduk.
Mobilitas penduduk internasional dilaksanakan melalui kerjasama internasional dengan Negara pengirim dan penerima migran internasional ke dan dari Indonesia sesuai dengan perjanjian internasional yang telah diterima dan disepakati oleh pemerintah.
Dalam pembangunan sistem data dan informasi kependudukan, kebijakan umum pembangunan database kependudukan dilakukan dengan mengembangkan database kependudukan yang memiliki akurasi dan tingkat kepercayaan yang tinggi serta dikelola dalam suatu sistem yang integratif, mudah diakses oleh para pemangku kepentingan, serta menjadi bagian dari Decision Support System (DSS). Kondisi ini didukung oleh penguatan kapasitas sumber daya manusia yang memiliki kompetensi tinggi, infrastruktur yang memadai, serta sistem kelembagaan yang kuat. Penerapan sistem informasi administrasi kependudukan daring diatur dalam Keputusan Presiden (Keppres) No. 88/2004 tentang pengelolaan administrasi kependudukan, Undang-Undang (UU) No. 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan dan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 18/2005 serta Peraturan Pemerintah (PP) No. 37 tahun 2007 tentang administrasi kependudukan.
Pencatatan data penduduk suatu daerah yang melalui sistem informasi administrasi kependudukan menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten dan kota dimana dalam pelaksanaannya diawali dari desa dan kelurahan sebagai awal dari pendataan penduduk disuatu daerah. Selanjutnya data-data tersebut akan disimpan kedalam satu basis data yang terintegrasi secara nasional melalui jaringan internet. Sehingga data-data tersebut menjadi sumber basis data kependudukan secara nasional yang selanjutnya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. sesuai dengan Undang-Undang (UU) No. 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan, SIAK adalah sistem informasi yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk memfasilitasi pengelolaan data kependudukan ditingkat Penyelenggara dan Instansi Pelaksana sebagai satu kesatuan yang selanjutnya memasukan data-data tersebut kedalam satu pusat data (data center) di Direktorat Jenderal Administrasi Kependudukan. Pengadaan program e-ktp merupakan salah satu contoh nyata penerapan pembangunan sistem data dan informasi kependudukan yang dapat mempermudah dalam pengumpulan informasi administrasi kependudukan.
Sebagai warga Negara yang baik, seyogyanya rakyat Indonesia ikut serta mendukung berbagai rencana upaya yang dilakukan pemerintah dalam rangka mewujudkan pembangunan yang berwawasan kependudukan dan tentu dengan tetap mengawasi berjalannya kebijakan tersebut agar seluruh rakyat Indonesia dapat merasakan manfaat dari kebijakan yang ada yaitu berupa kesejahteraan yang merata.
Salam GenRe. J

Sumber:
[1] Tjiptoherijanto, Prijono. 2002. Dimensi Kependudukan dalam Pembangunan Berkelanjutan. Diakses pada http://documents.tips/download/link/kependudukan-dan-pembangunan-berkelanjutan-562bad7e405fc
[2] BKKBN Unggulkan Program Pembangunan Keluarga diakses dalam http://klikpositif.com/klik/detil/12011/bkkbn-unggulkan-program-pembangunan-keluarga.html
[3] Peraturan Pemeritah Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2014 Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Keluarga Berencana, dan Sistem Informasi Keluarga.
Grand Design Pembangunan Kependudukan Tahun 2011-2035 dalam http://www.slideshare.net/OswarMungkasa/buku-1-a5-gabung
Grand Design Pengendalian Kuantitas Penduduk dalam http://www.bkkbn.go.id/kependudukan/DITJAKDUK/Grand%20Design%20Pengendalian%20Kuantitas%20Penduduk/GRAND_DESIGN_PENGENDALIAN_KUANTITAS_PENDUDUK.pdf


0 komentar:

Rabu, 02 Maret 2016

Bonus Demografi Indonesia

Indonesia merupakan Negara berkembang dengan jumlah penduduk ke-4 terbanyak di dunia. Menurut data resmi sensus penduduk pada tahun 2010 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia memiliki jumlah penduduk sebanyak 237,6 juta jiwa dan diprediksi akan terus meningkat setiap tahunnya. Bahkan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memproyeksikan bahwa jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2035 mendatang berjumlah 305,6 juta jiwa. Jumlah ini meningkat 28,6 persen dari tahun 2010. Sedangkan pada tahun 2015 BPS memproyeksikan jumlah penduduk Indonesia adalah 252,2 juta jiwa. Peningkatan jumlah penduduk seperti ini sebenarnya sudah diminimalisir dengan adanya Gerakan Keluarga Berencana Nasional Indonesia yang dimulai sejak tahun 70-an. Meski begitu, jumlah penduduk Indonesia masih terus meningkat dan ditambah lagi dengan meningkatnya penduduk berusia produktif (usia 15 tahun sampai 65 tahun) atau yang diistilahkan sebagai bonus demografi.
Ilustrasi bonus demografi
Mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) atau Kepala Bappenas periode 2009-2014 Armida S Alisjahbana mengatakan, Indonesia telah memasuki bonus demografi (rasio ketergantungan terhadap penduduk tak produktif) sejak tahun 2012, yakni 49,6 persen. . Itu artinya, setiap 100 orang penduduk usia produktif menanggung 50 orang penduduk usia tidak produktif (< 15 tahun dan ≥ 65 tahun). Atas dasar itu, penduduk Indonesia yang produktif lebih banyak daripada penduduk yang tak produktif. Pada tahun 2010, proporsi penduduk usia produktif adalah sebesar 66,5 persen. Proporsi ini terus meningkat mencapai 68,1 persen pada tahun 2028 sampai tahun 2031. Meningkatnya jumlah penduduk usia produktif menyebabkan menurunnya angka ketergantungan, yaitu jumlah penduduk usia tidak produktif yang ditanggung oleh 100 orang penduduk usia produktif dari 50,5 persen pada tahun 2010 menjadi 46,9 persen pada periode 2028-2031. Tetapi angka ketergantungan ini mulai naik kembali menjadi 47,3 persen pada tahun 2035.
Sementara itu, menurut data BPS jumlah angkatan kerja tahun 2015 di Indonesia sebanyak 128,3 juta orang. Pada tahun 2015, angka rasio ketergantungan sebesar 48,6. Itu artinya, setiap 100 orang penduduk usia produktif menanggung 49 orang penduduk usia tidak produktif (< 15 tahun dan ≥ 65 tahun). Namun rasio ketergantungan cenderung menurun belakangan setelah sempat mencapai 70% dan diperkirakan akan mencapai titik terendah pada 2020-2030. Hal ini sejalan dengan laporan PBB, yang menyatakan bahwa dibandingkan dengan negara Asia lainnya, angka ketergantungan penduduk Indonesia akan terus turun sampai 2020. Pada periode itu akan terdapat peluang lebih besar untuk melakukan investasi manusia guna mendorong produksi.
Gambaran konkretnya, jika rasio ketergantungan pada tahun 1971 masih tercatat angka 86, maka pada 2000 turun menjadi 54,7 dan turun lagi menjadi hanya 51 pada 2010. Artinya, jika setiap 100 penduduk usia produktif pada 1971 harus membiayai hidup sebanyak 86 penduduk usia tidak produktif, maka tahun 2000 turun menjadi 54,7 penduduk dan turun lagi menjadi hanya 51 penduduk pada 2010.  Sepuluh tahun berikutnya, tahun 2020, angka ketergantungan itu diperkirakan akan mengalami titik paling rendah karena setiap 100 penduduk usia produktif hanya akan menanggung 44 penduduk tidak produktif dan diperkirakan akan berlangsung hingga 2030. Jelasnya, jumlah maupun besarnya proporsi penduduk yang potensial bisa bekerja—sering disebut juga sebagai mesin pertumbuhan (engine of growth)— dalam periode 10 tahun itu akan mencapai dua kali lipat lebih dibanding jumlah dan proporsi penduduk yang harus mereka tanggung.
Dampak ekonomisnya, pada saat itu diharapkan akan lebih banyak lagi jumlah penduduk yang bisa menghasilkan dan menabungsertamenginvestasikan kembali tabungannya untuk terus meningkatkan produktivitas dan kesejahteraannya. Inilah momentum bagi bangsa Indonesia, dengan jumlah penduduknya terbesar keempat di dunia, untuk bangkit dari berbagai ketertinggalannya termasuk meningkatkan pertumbuhan ekonominya.
Itulah fenomena demografis sekaligus jendela peluang (window of opportunity), yang oleh para pakar kependudukan disebut “bonus demografi” (demographic dividend) yang akan terjadi hanya satu kali dalam sejarah kependudukan sebuah bangsa. Mengapa? Karena setelah kurun waktu 2030, angka ketergantungan itu diperkirakan akan kembali mengalami peningkatan. Bukan karena adanya peningkatan usia di bawah 15 tahun, melainkan karena semakin meningkatnya penduduk lansia sebagai dampak dari semakin meningkatnya rata-rata usia harapan hidup. Dalam evolusi kependudukan, sebuah negara akan mengalami sekaligus menikmati bonus demografi ketika angka ketergantungan penduduknya berada di rentang antara 40–50, yang berarti bahwa 100 orang usia produktif hanya menanggung 40–50 penduduk usia tidak produktif.
Dengan kriteria di atas, tercatat sejumlah negara di Eropa yang telah melewati masa keemasan bonus demografinya karena terjadi secara bervariasi antara 1950–2000. Sementara China sudah mulai menikmati bonus demografinya sejak 1990 dan akan berlangsung hingga 2015. India, hampir sama dengan Indonesia, terjadi mulai 2010, disusul negara-negara di belahan Afrika yang bonus demografinya diperkirakan akan datang lebih lambat lagi dan akan berakhir hingga 2045.
Namun, peluang emas yang merupakan bonus demografi itu tidak akan terjadi secara linier, apalagi datang begitu saja secara taken for granted. Artinya, butuh prasyarat untuk bisa mewujudkannya. Butuh konsep matang dan realistik untuk mempersiapkannya.
Menteri PPN/Kepala Bappenas Andrinof Chaniago yang menjadi salah satu pembicara forum High-level Dialogue on Capitalizing on the Demographic Dividend yang diselenggarakan berkat kerja sama Ikatan Praktisi dan Ahli Demografi Indonesia (IPADI) serta United Nations Population Fund (UNFPA) tahun 2015 menggaris bawahi pentingnya kesiapan Indonesia menyambut tahun 2020-2030, periode terjadinya bonus demografi, yakni bonus yang dinikmati karena besarnya proporsi penduduk produktif dalam rentang usia 15-64 tahun. Menteri Andrinof mengungkapkan manfaat bonus demografi bisa dinikmati dengan dua cara jitu, meningkatkan kualitas penduduk dan menelaah mobilitas penduduk. Untuk mewujudkan generasi berkualitas, masyarakat harus memiliki etos kerja yang gigih guna meningkatkan produktivitas. UNFPA Executive Director and Chair of the WEF Global Council on the Demographic Dividend  Babatunde Osotimehin juga menyatakan  kualitas penduduk menjadi kunci keberhasilan Indonesia dalam memanfaatkan bonus demografi. Seiring dengan pentingnya fokus pembangunan infrastuktur,  Indonesia juga harus fokus pada pembangunan non fisik. Indonesia butuh investasi di edukasi formal dan vokasional serta kesehatan.
Karena itu, paling tidak ada dua agenda besar yang harus dilakukan bangsa pada saat ini.  Agenda besar pertama dan utama adalah menyangkut upaya untuk terus meningkatkan sekaligus mengakselerasi pendidikan penduduknya, termasuk derajat kesehatannya. Logikanya, bagaimana mungkin produktivitas penduduk muda itu bisa ditingkatkan jika kebanyakan di antara mereka hanya memiliki ijazah SD atau SMP seperti umumnya potret saat ini.  Bagaimana mungkin produktivitas penduduk usia muda itu juga bisa ditingkatkan jika kondisi fisik mereka begitu rentan dengan banyak penyakit lantaran kekurangan gizi dan sebagainya. Jangan lupa, bagaimana mungkin produktivitas penduduk usia muda itu juga bisa ditingkatkan jika pemerintah gagal menyediakan lapangan kerja yang mereka butuhkan. Di situlah pula relevansinya bagi bangsaini—salahsatunya—untuk terus mengembangkan lebih banyak sekolah, termasuk perguruan tinggi berbasis vokasi atau kejuruan yang diarahkan pada upaya memperkuat sekaligus memperluas pusat-pusat pertumbuhan ekonomi setiap wilayah.
Agenda besar kedua adalah peningkatan kualitas program Keluarga Berencana (KB) supaya kedepannya program ini dapat  lebih luas dan merata dalam menjangkau setiap keluarga Indonesia agar jumlah anak setiap keluarga dapat semakin dikontrol. Pasalnya, jika kualitas program KB tidak mengalami kemajuan maka angka kelahiran (fertilitas) dapat kembali meningkat, dan hampir bisa dipastikan bahwa angka ketergantungan penduduk juga akan kembali mengalami peningkatan. Dampaknya, peluang emas yang diproyeksikan bakal terjadi pada 2020–2030 itu bukan saja akan mengalami kemunduran melainkan juga akan sulit diwujudkan.
Bonus demografi memang merupakan berkah bagi suatu Negara, namun juga bisa jadi bencana jika Negara tidak menyiapkan sedari dini akan datangnya masa bonus demografi tersebut. Semoga saja Indonesia bisa menjadi salah satu Negara yang dapat memetik buah manis dari bonus demografi yang diproyeksikan akan terjadi pada tahun 2020-2030 tersebut.

Salam GenRe. J


Sumber :
http://www.academia.edu/7188182/BONUS

0 komentar:

Gambaran Umum Kependudukan Indonesia Saat Ini

Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari sekitar 17.508 pulau, tersebar dari Sabang sampai Merauke, dengan luas wilayah daratan ± 2.012.402 km2 dan luas perairan ± 5.877.879 km2. Dengan wilayah yang begitu luas, mau tidak mau Indonesia harus menanggung segudang permasalahan kependudukan. Sebaliknya apabila bisa diatasi dengan baik maka dapat menjadi hal yang mampu membawa Indonesia lebih dekat menuju cita-citanya yaitu menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Untuk dapat mengidentifikasi permasalahan kependudukan yang ada saat ini maka terlebih dahulu harus mengetahui bagaimana sebenarnya gambaran umum kependudukan di Indonesia sendiri. Berikut ini beberapa gambaran kependudukan di Indonesia :
1.     Jumlah Populasi

Jumlah penduduk Indonesia adalah 237.641.326 jiwa menurut data resmi sensus penduduk 2010 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Sedangkan jumlah penduduk Indonesia menurut data statistik yang dikeluarkan BPS tahun 2015 sebanyak 252.164.800 jiwa. 
Sumber: Statistik Indonesia 2015
Sumber: Statistik Indonesia 2015
Jumlah tersebut merupakan jumlah proyeksi penduduk yang didapat dari pengolahan hasil sensus penduduk tahun 2010, karena sensus penduduk dilakukan sepuluh tahun sekali. Dengan jumlah sebanyak itu, Indonesia masih berada di peringkat ke-4 negara berpenduduk terbanyak di dunia, setelah China, India dan Amerika Serikat. Jumlah penduduk yang besar ini sebenarnya bisa menjadi masalah, bisa juga menjadi aset suatu negara. Masalahnya adalah penduduk bisa menjadi aset jikalau kualitas penduduknya pun baik, sebaliknya, jika kualitas penduduknya buruk maka hanya akan menjadi masalah bagi Negara itu sendiri.
2.    Prevalensi Kontrasepsi
Dalam kurun waktu 30 tahun, 1961-1990, jumlah penduduk Indonesia meledak 2 kali lipat, semula 97,1 juta jiwa menjadi 179,4 juta jiwa. Hal ini mengakibatkan pos pelayanan terpadu (posyandu) sangat mengemuka dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak. Selain itu, posyandu juga berperan sebagai ujung tombak Keluarga Berencana (KB), yang mengatur laju pertumbuhan jumlah penduduk melalui berbagai kontrasepsi. Angka Prevalensi Pemakaian Kontrasepsi adalah angka yang menunjukkan berapa banyaknya Pasangan Usia Subur (PUS) yang sedang memakai kontrasepsi pada saat pencacahan dibandingkan dengan seluruh PUS.
Angka Prevelensi Kontrasepsi ini sering disebut dengan CPR (Contraceptive Prevalence Rate). Informasi tentang besarnya CPR sangat bermanfaat untuk menetapkan kebijakan pengendalian kependudukan, serta penyediaan pelayanan KB baik dalam bentuk mempersiapkan pelayanan kontrasepsi seperti sterilisasi, pemasangan IUD, persiapan alat dan obat kontrasepsi, serta pelayanan konseling untuk menampung kebutuhan dan menanggapi keluhan pemakaian kontrasepsi.
sumber: infodatin Kementrian Kesehatan RI 2014
sumber: infodatin Kementrian Kesehatan RI 2014
Data SDKI 2012 menunjukkan tren Prevalensi Penggunaan Kontrasepsi atau Contraceptive Prevalence Rate (CPR) di Indonesia sejak 1992-2012 cenderung meningkat, sementara tren Angka Fertilitas atau Total Fertility Rate (TFR) cenderung menurun. Hal ini menunjukan bahwa kesadaran masyarakat Indonesia dalam program Keluarga Berencana cukup besar, dilihat dari tingginya angka pemakaian kontrasepsi. Namun, efek yang timbul dari program ini belum nampak terlihat karena jumlah penduduk tetap besar dan keluarga kecil yang terdiri dari dua anak pun masih jarang.
3.    Angka Kematian Kasar (Crude Death Rate)
Angka kematian kasar (Crude Death Rate) adalah angka yang menunjukkan banyaknya kematian untuk setiap 1000 orang penduduk pada pertengahan tahun yang terjadi pada suatu daerah pada waktu tertentu. Angka kematian kasar adalah indikator sederhana yang tidak memperhitungkan pengaruh umur penduduk. Sehingga angka ini berguna untuk memberikan gambaran kepada kesejahteraan penduduk pada suatu tahun yang bersangkutan.
Angka kematian kasar Indonesia menurut World Health Organization (WHO) tahun 2014 adalah sebesar 6 dari 1000 penduduk Indonesia. Angka kematian bayi saat ini di Indonesia sudah membaik, namun angka kematian ibu melahirkan masih tinggi. Hal tersebut terjadi karena kurangnya perhatian terhadap ibu hamil dan bayinya pada saat mengandung. Dengan angka kematian kasar sebesar itu, Indonesia berada pada peringkat 155 diantara 224 negara di dunia. Namun di ASEAN, angka kematian kasar Indonesia lebih baik dibandingkan Laos dan Thailand. Sedangkan angka kematian kasar terkecil didominasi oleh Negara di Timur Tengah.
4.    Angka Ketergantungan (Dependency Ratio)
Rasio Ketergantungan (Dependency Ratio) adalah perbandingan antara jumlah penduduk umur 0-14 tahun, ditambah dengan jumlah penduduk 65 tahun ke atas (keduanya disebut dengan bukan angkatan kerja) dibandingkan dengan jumlah pendduk usia 15-64 tahun (angkatan kerja). Menurut data BPS, jumlah angkatan kerja tahun 2015 di Indonesia sebanyak 128,3 juta orang. Pada tahun 2015, angka rasio ketergantungan sebesar 48,6. Itu artinya, setiap 100 orang penduduk usia produktif menanggung 49 orang penduduk usia tidak produktif (< 15 tahun dan ≥ 65 tahun). Namun rasio ketergantungan cenderung menurun belakangan setelah sempat mencapai 70% dan diperkirakan akan mencapai titik terendah pada 2020-2030. Hal ini sejalan dengan laporan PBB, yang menyatakan bahwa dibandingkan dengan negara Asia lainnya, angka ketergantungan penduduk Indonesia akan terus turun sampai 2020. Pada periode itu akan terdapat peluang lebih besar untuk melakukan investasi manusia guna mendorong produksi.
Tentu saja ini merupakan suatu berkah. Melimpahnya jumlah penduduk usia kerja akan menguntungkan dari sisi pembangunan sehingga dapat memacu pertumbuhan ekonomi ke tingkat yang lebih tinggi. Impasnya adalah meningkatkannya kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Namun berkah ini bisa berbalik menjadi bencana jika bonus ini tidak dipersiapkan kedatangannya. Masalah yang paling nyata adalah ketersedian lapangan pekerjaan. Kalaupun tersedia lapangan pekerjaan, mampukan sumber daya manusia yang melimpah ini bersaing dengan dunia kerja dan pasar internasional? Permasalahan pembangunan sumber daya manusia inilah yang harusnya bisa diselesaikan dari sekarang, jauh sebelum bonus demografi datang. Jangan sampai hal yang menjadi berkah justru membawa bencana dan membebani negara karena masalah yang mendasar: kualitas manusia.
5.    Angka Kelahiran Kasar (Crude Birth Rate)
Angka Kelahiran Kasar (Crude Birth Rate/CBR) merupakan angka yang menunjukkan banyaknya kelahiran pada tahun tertentu per 1000 penduduk pada pertengahan tahun yang sama. Angka kelahiran kasar dihitung untuk mengetahui tingkat kelahiran yang terjadi di suatu daerah tertentu pada waktu tertentu. Menurut data dari CIA World Factbook, saat ini (tahun 2015) angka kelahiran kasar di Indonesia berada pada angka 17 di setiap 1000 penduduk di Indonesia. Negara Indonesia berada pada peringkat 110 dari 224 negara di dunia.
6.    Angka Kelahiran Total (Total Fertility Rate)
Angka Fertilitas Total (Total Fertility Rate/TFR) adalah rata-rata anak yang dilahirkan seorang wanita selama masa usia suburnya. TFR merupakan gambaran mengenai rata-rata jumlah anak yang dilahirkan seorang perempuan dari usia 15 sampai 49 tahun. Perbandingan angka TFR antar negara atau antar daerah dapat menunjukkan keberhasilan daerah dalam melaksanakan pembangunan sosial ekonominya. Angka TFR yang tinggi dapat merupakan cerminan rata-rata usia kawin yang rendah,  tingkat pendidikan yang rendah terutama perempuannya, tingkat sosial ekonomi rendah atau tingkat kemiskinan yang tinggi. Selain itu tentu saja menunjukkan tingkat keberhasilan program KB yang dilaksanakan selama tiga dekade ini.
sumber: infodatin Kementrian Kesehatan RI 2014
sumber: infodatin Kementrian Kesehatan RI 2014
Dari angka kelahiran total, dapat diketahui indikator yang menyangkut kesehatan ibu. Jika angka kelahiran total tinggi maka hal ini mencerminkan rata-rata usia kawin yang rendah, tingkat pendidikan perempuan yang rendah, tingkat sosial ekonomi rendah, dan tingkat kemiskinan tinggi. Total Fertility Rate Indonesia pada tahun 2012  mencapai 2,6, artinya seorang wanita memiliki 2-3 anak dalam usia suburnya. Dengan TFR 2,6, Indonesia masih berada di atas rata-rata TFR Negara ASEAN yaitu 2,4 dan memiliki potensi untuk angka kelahiran yang tinggi, dan berada pada peringkat 106 di dunia, setara dengan El Salvador dan Bangladesh.
7.    Angka Harapan Hidup
Angka Harapan Hidup adalah rata-rata tahun hidup yang masih akan dijalani oleh seseorang yang telah berhasil mencapai umur x, pada suatu tahun tertentu, dalam situasi mortalitas yang berlaku di lingkungan masyarakatnya. Angka Harapan Hidup merupakan alat untuk mengevaluasi kinerja pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan penduduk pada umumnya, dan meningkatkan derajat kesehatan pada khususnya. Angka Harapan Hidup yang rendah di suatu daerah harus diikuti dengan program pembangunan kesehatan, dan program sosial lainnya termasuk kesehatan lingkungan, kecukupan gizi dan kalori termasuk program pemberantasan kemiskinan.

Sumber: bps.go.id

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) dan laporan United Nations berjudul “World Population Prospect: The 2010 Revision Population Databasetahun 2015, angka harapan hidup penduduk di Indonesia menempati posisi ke-6 dari negara-negara anggota ASEAN, periode tahun 2010-2015. Posisi pertama ditempati Singapura yang mencatat indeks 82,2 dari posisi sebelumnya periode 2005-2010 sebesar 81,2. Angka harapan hidup penduduk Indonesia tercatat sebesar 70,1 pada 2010-2015, atau naik dari 69,1 (2005-2010). Seperti yang telah diketahui, pemerintah selalu berusaha untuk meningkatkan kesehatan dan harapan hidup masyarakat dengan terus mempermudah akses terhadap kesehatan dan nutrisi di Indonesia. Namun begitu, masih saja ada kendala yang dihadapi dalam prosesnya.
8.    Migrasi
Penduduk merupakan sumber daya utama yang berpengaruh besar terhadap pembangunan suatu wilayah. Menurut, worldometers.com, jumlah penduduk di dunia pada tahun 2015 sekitar 7,399 milyar. Tahun 2011 jumlah penduduk Indonesia sekitar 252,2 juta jiwa. Jumlah penduduk yang besar akan bermanfaat jika daerah tersebut merupakan daerah yang produktif, akan tetapi butuh modal yang sangat besar. Sehingga jika tidak terpenuhi akan menjadi suatu masalah. Migrasi penduduk merupakan salah satu dari tiga komponen demografi yang menyebabkan perubahan struktur penduduk, yaitu perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah yang lain dengan melewati batas administrasi atau politik suatu Negara.
Penyebaran penduduk yang tidak merata dapat dilihat berdasarkan luas pulau di Indonesia, seperti Pulau Sumatera yang luasnya 25,2% dari luas seluruh wilayah Indonesia dihuni oleh 21,3% penduduk, Jawa yang luasnya 6,8% dihuni oleh 57,5% penduduk, Kalimantan yang luasnya 28,5% dihuni oleh 5,8% penduduk, Sulawesi yang luasnya 9,9% dihuni oleh 7,3% penduduk, Maluku yang luasnya 4,1% dihuni oleh 1,1% penduduk, dan Papua yang luasnya 21,8% dihuni oleh 1,5% penduduk (BPS, 2012).
Hasil Sensus Penduduk 2010 (BPS, 2012) mencatat 5.396.419 penduduk atau 2,5% penduduk merupakan migrant masuk risen antar propinsi. Pada tahun 2010 migrant masuk tertinggi di Indonesia berada di Propinsi Jawa Barat yaitu sekitar 1.048.964 jiwa, sedangkan migrant keluar risen tertinggi dari Banten yaitu sebanyak 979.860  jiwa. Penduduk yang merupakan migran seumur hidup juga mengalami peningkatan, berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010 tercatat 27.975.612 penduduk atau 11,8% penduduk merupakan migrant masuk seumur hidup antar propinsi. Pada tahun 2010 migrant seumur hidup keluar tertinggi berada di Propinsi Jawa Tengah yaitu sebanyak 6.829.637 penduduk, sedangkan migrant masuk tertinggi berada di Propinsi Jawa Barat yaitu sebanyak 5.225.271 penduduk (BPS, 2012). Migrasi secara umum bukan merupakan masalah bagi Indonesia, tetapi migrasi yang tidak merata lah yang menjadi masalah di Indonesia. Dilihat dari persentase jumlah penduduk yang terpusat di Pulau Jawa yang menyebabkan pembangunan yang tidak merata.
Itulah beberapa gambaran mengenai bagaimana keadaan penduduk Indonesia saat ini. Masih banyak permasalahan yang dimiliki Indonesia dan pemerintah juga terus menerus berusaha untuk mengatasinya. Sebagai warga Negara yang baik sudah seharusnya kita ikut mendukung upaya positif pemerintah, dan langkah awalnya adalah dengan mengenali terlebih daluhu Negara Indonesia kita ini agar kita pun dapat mengerti apa dan memikirkan bagaimana langkah yang harus dilakukan guna ikut membantu menyelesaikan permasalahan-permasalahan di Indonesia.

Salam GenRe J



2 komentar:

Blogger Template by Clairvo