![]() |
| Sumber: http://mascerdas.blogspot.co.id/2015/10/pembangunan-berkelanjutan.html |
Sabtu, 19 Maret 2016
Pembangunan Berwawasan Kependudukan Dalam Rangka Pembangunan Berkelanjutan Indonesia
Diposting oleh Unknown di 17.29.00
Sesuai dengan amanat Undang-Undang
Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga,
penduduk harus menjadi titik sentral dalam pembangunan nasional Indonesia. Pembangunan nasioanal
adalah upaya untuk meningkatkan seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa, dan
negara yang sekaligus merupakan proses pembangunan keseluruhan sistem
penyelenggaraan negara untuk mewujudkan tujuan nasional. Dalam pengertian lain,
pembangunan mewujudkan nasional dapat diartikan sebagai rangkaian upaya
pembangunan yang berkesinambungan nasional dapat diartikan sebagai rangkaian
upaya pembangunan yang untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional.
Perkembangan jaman yang
semakin pesat melahirkan tantangan yang harus dihadapi manusia semakin besar
pula. Tidak hanya dalam satu Negara
tetapi hampir di seluruh belahan bumi manapun. Adanya isu pemanasan global, isu
perdagangan bebas, bahkan teknologi yang semakin berkembang pun dapat menjadi
tantangan manusia saat ini. Karena teknologi memiliki dua sisi seperti pedang.
Maka sebuah konsep bertahan harus dimiliki oleh manusia, begitu juga Negara
sebagai tempat manusia ini bernaung. Hingga muncullah konsep pembangunan berkelanjutan.
Sejarah lahirnya
prinsip pembangunan berkelanjutan ditandai dengan terbentuknya World Commmission on Environment and Development (Komisi
Dunia untuk Pembangunan dan Lingkungan) pada tahun 1984, yang diketuai oleh Ny.
Gro Harlem Brundtland, Perdana Menteri Norwegia, selanjutnyaa komisi ini lazim
pula disebut dengan Komisi Brundtland. Komisi ini bertugas untuk menganalisis
dan memberi saran bagi proses pembangunan berkelanjutan, yang
laporannya terangkum dalam buku Our
Common Future, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi “Hari Depan
Kita Bersama”. Komisi ini terdiri dari 9 orang mewakili negara maju dan 14
orang mewakili negara berkembang. Salah satu anggotanya adalah Emil Salim dari
Indonesia, yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri Kependudukan dan
Lingkungan Hidup. Pada tanggal 3 sampai 14 Juni 1992, PBB melakukan
konferensi tentang Lingkungan dan Pembangunan (United Nations Conference on
Environment and Development, UNCED) di Rio de Janeiro, Brasil atau yang
lebih popular dengan Konferensi Tingki Tinggi Bumi di Rio (KTT Rio). Salah satu
isu yang sangat penting yang menjadi dasar pembicaraan di KTT Rio adalah
prinsip Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development).
Pengertian dari Sustainable Development menurut Komisi Brundtland adalah
pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi
kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhannya, dalam bahasa
Inggris terumuskan berupa : if
it meets the needs of the present without compromising the ability of future
generations to meet their own needs. Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu proses pembangunan yang
secara berkelanjutan mengoptimalkan manfaat dari sumber alam dan sumberdaya
manusia dengan cara menyerasikan aktivitas manusia sesuai dengan kemampuan
sumber alam yang tersedia. Pembangunan
berkelanjutan juga memiliki arti
pembangunan yang terencana di segala bidang untuk menciptakan perbandingan
ideal antara perkembangan kependudukan dengan daya dukung dan daya tampung
lingkungan serta memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa harus mengurangi
kemampuan dan kebutuhan generasi mendatang, sehingga menunjang kehidupan
bangsa.
Dengan demikian strategi pembangunan
berkelanjutan bermaksud mengembangkan keselarasan baik antara umat manusia
dengan alam. Keselarasan tersebut tentunya tidak bersifat tetap, melainkan
merupakan suatu proses yang dinamis. Proses pemanfaatan sumberdaya, arah investasi,
orientasi pengembangan teknologi, serta perubahan kelembagaan diselenggarakan
secara konsisten dengan kebutuhan masa kini dan masa depan. Oleh karena itulah
dalam pembangunan berkelanjutan, proses pembangunan ekonomi harus disesuaikan
dengan kondisi penduduk serta sumberdaya alam dan lingkungan yang ada di suatu
wilayah tertentu. Jadi, integrasi atau pembauran
antara masalah kependudukan dan pembangunan nasional menjadi hal penting.
Ada beberapa alasan yang melandasi pemikiran bahwa kependudukan
merupakan faktor yang sangat strategis dalam kerangka pembangunan nasional.
Pertama, kependudukan, atau dalam hal ini adalah penduduk, merupakan pusat dari
seluruh kebijaksanaan dan program pembangunan yang dilakukan. Dalam GBHN dengan
jelas dikemukakan bahwa penduduk adalah subyek dan obyek pembangunan. Sebagai
subyek pembangunan maka penduduk harus dibina dan dikembangkan sehingga mampu
menjadi penggerak pembangunan. Sedangkan penduduk sebagai objek pembangunan
yaitu penduduk sebagai sasaran dari hasil pembangunan. Pada hakikatnya
pembangunan itu ditujukan untuk kemaslahatan manusia, maka dari itu hasil dari
pembangunan harus dapat dirasakan manfaatnya oleh penduduk. penduduknya. Dengan
demikian jelas bahwa pembangunan harus dikembangkan dengan memperhitungkan
kemampuan penduduk agar seluruh penduduk dapat berpartisipasi aktif dalam
dinamika pembangunan tersebut. Sebaliknya, pembangunan tersebut baru dikatakan
berhasil jika mampu meningkatkan kesejahteraan penduduk dalam arti yang luas.
Kedua, keadaan dan kondisi
kependudukan yang ada sangat mempengaruhi dinamika pembangunan yang dilakukan
oleh pemerintah. Jumlah penduduk yang besar jika diikuti dengan kualitas
penduduk yang memadai akan merupakan pendorong bagi pertumbuhan ekonomi. Kualitas penduduk sangat terkait dengan kemampuan
penduduk untuk dapat mengolah dan memanfaatkan sumber daya alam yang ada di
sekitarnya, guna memenuhi kebutuhan hidup serta meningkatkan kesejahteraannya.
Indikator kualitas atau mutu dari sumber daya manusia dapat dilihat dari
beberapa aspek seperti; tingkat pendidikan, pendapatan, tingkat kesehatan, dan lain-lain. Sebaliknya
jumlah penduduk yang besar jika diikuti dengan tingkat kualitas yang rendah,
menjadikan penduduk tersebut sebagai beban bagi pembangunan. Ketiga, dampak
perubahan dinamika kependudukan baru akan terasa dalam jangka yang panjang.
Karena dampaknya baru terasa dalam
jangka waktu yang panjang, sering kali peranan penting penduduk dalam
pembangunan terabaikan. Sebagai contoh,beberpa ahli kesehatan memperkirakan
bahwa krisis ekonomi dewasa ini akan memberikan dampak negatif terhadap
kesehatan seseorang selama 25 tahun kedepan atau satu genarasi. Dengan
demikian, dapat dibayangkan bagaimana kondisi sumberdaya manusia Indonesia pada
generasi mendatang, 25 tahun setelah tahun 1997. demikian pula, hasil program
keluarga berencana yang dikembangkan 30 tahun yang lalu (1968), baru dapat
dinikmati dalam beberapa tahun terakhir ini. Dengan demikian, tidak diindahkannya
dimensi kependudukan dalam rangka pembangunan nasional sama artinya dengan
“menyengsarakan” generasi berikutnya.
Kemudian lebih
terkait dengan integrasi penduduk dengan pembangunan, perlu penguatan kebijakan
dalam pembangunan berwawasan kependudukan. Apa yang dimaksud dengan pembangunan berwawasan kependudukan?
Secara sederhana pembangunan berwawasan kependudukan mengandung dua makna
sekaligus yaitu, pertama, pembangunan berwawasan kependudukan adalah
pembangunan yang disesuaikan dengan potensi dan kondisi penduduk yang ada.
Penduduk harus dijadikan titik sentral dalam proses pembangunan. Penduduk harus
dijadikan subyek dan obyek dalam pembangunan. Pembangunan adalah oleh penduduk
dan untuk penduduk. Makna kedua dari pembangunan berwawasan kependudukan adalah
pembangunan sumberdaya manusia. Pembangunan yang lebih menekankan pada
peningkatan kualitas sumberdaya manusia dibandingkan dengan pembangunan
infastruktur semata.
Jargon
pembangunan berwawasan kependudukan sudah lama didengar dalam bentuk dan format
lain, namun masih mengalami banyak hambatan dalam pelaksanaannya. Sudah lama
didengung-dengungkan mengenai penduduk sebagai subyek dan obyek pembangunan. Atau
jargon mngenai pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Atau pembangunan bagi
segenap rakyat. Sudah saatnya jargon tersebut diimplementasikan dengan
sungguh-sungguh jika tidak ingin mengalami krisis ekonomi yang lebih hebat lagi
dimasa mendatang. Dengan demikian, indikator keberhasilan ekonomi harus dirubah
dari sekedar GNP atau GNP per kapita menjadi aspek kesejahteraan atau memakai
terminologi UNDP adalah HDI (Human Development Index). Memang
dengan menggunakan strategi pembangunan berwawasan kependudukan untuk suatu
pembangunan ekonomi akan memperlambat tingkat pertumbuhan ekonomi. Namun ada
suatu jaminan bahwa perkembangan ekonomi yang dicapai akan berkesinambungan (sustainable). Sebaliknya
pertumbuhan ekonomi yang tinggi hanya akan membawa pada peningkatan ketimpangan
pendapatan. Industrialisasi dan liberialisasi yang
terlalu cepat memang akan meningkatkan efisiensi dan produktivitas namun
sekaligus juga meningkatkan pengangguran dan setengah menganggur. [1]
Mengapa selama
ini Indonesia mengabaikan pembangunan berwawasan kependudukan? Hal ini tidak
lain karena keinginan pemerintah untuk mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi
yang harus senantiasa tinggi. Pertumbuhan ekonomi menjadi satu-satunya ukuran
keberhasilan pembangunan nasional. Walaupun Indonesia memiliki wawasan trilogi
pembangunan yaitu pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas, namun pada
kenyataannya pertumbuhan senantiasa mendominasi strategi pembangunan nasional. Strategi
pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan tanpa melihat potensi penduduk serta
kondisi sumberdaya alam dan lingkungan yang ada nyatanya tidaklah berlangsung
secara berkesinambungan (sustained).
Sebenarnya perhatian pemerintah terhadap kependudukan dimulai sejak pemerintah
Orde Baru memegang kendali. Konsep “Pembangunan Manusia Seutuhnya” yang tidak
lain adalah konsep “Pembangunan Kependudukan” mulai diterapkan dalam
perencanaan pembangunan Indonesia yang sistematis dan terarah sejak Repelita 1
pada tahun 1986. Namun sedemikian jauh, walaupun dalam tatanan kebijaksanaan telah
secara sungguh-sungguh mengembangkan konsep pembangunan yang berwawasan
kependudukan, pemerintah nampaknya belum dapat secara optimal
mengimplementasikan dan mengintegrasikan kebijaksanaan tersebut.
Dalam
hal mengintegrasikan dimensi
kependudukan dalam perencanaan pembangunan (baik nasional maupun daerah) maka
manfaat paling mendasar yang diperoleh adalah besarnya harapan bahwa penduduk
yang ada didaerah tersebut menjadi pelaku pembangunan dan penikmat hasil
pembangunan. Itu berarti pembangunan berwawasan kependudukan lebih berdampak
besar pada peningkatan kesejahteraan penduduk secara keseluruhan dibanding
dengan orientasi pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan (growth).
Dalam pembangunan berwawasan kependudukan ada suatu jaminan akan berlangsung
proses pembangunan itu sendiri. Pembangunan berwawasan kependudukan menekankan
pada pembangunan lokal, perencanaan berasal dari bawah (bottom up planning),
disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat lokal, dan yang lebih
penting adalah melibatkan seluruh lapisan masyarakat dalam proses perencanaan
pembangunan.
Pembangunan
berwawasan kependudukan menurut pada strategi pembangunan yang bersifat ‘bottom-up
planning’. Melalui pendekatan ini, tujuan utama seluruh proses pembangunan
adalah lebih memeratakan kesejahteraan penduduk daripada mementingkan tingkat
pertumbuhan ekonomi. Karena itu pendekatan ‘bottom-up’ berupaya
mengoptimalkan penyebaran sumberdaya yang dimiliki dan potensial ke seluruh
wilayah dan membangun sesuai dengan potensi dan masalah khusus yang dihadapi
oleh daerah masing-masing. Pendekatan bottom-up mengisyaratkan
kebebasan daerah atau wilayah untuk merencanakan pembangunan sendiri sesuai
dengan keperluan dan keadaan daerah masing-masing. Pendekatan ini lebih dikenal
dengan istilah otonomi daerah. Otonomi daerah ini bertujuan agar setiap daerah mampu
mengatur dan menjalankan berbagai kebijaksanaan yang dirumuskan sendiri guna
peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah atau kawasan yang bersangkutan.
Melalui otonomi daerah, yang berarti adalah desentralisasi pembangunan, maka
laju pertumbuhan antar daerah akan semakin seimbang dan serasi, sehingga
pelaksanaan pembangunan nasional serta hasil-hasilnya semakin merata di seluruh
Indonesia.
Beberapa kata
kunci yang perlu diberikan penekanan pada pembangunan daerah
adalah (1) pembangunan daerah disesuaikan dengan prioritas dan potensi
masing-masing daerah, dan (2) adanya keseimbangan pembangunan antar daerah.
Kata kunci pertama mengandung makna pada kesadaran pemerintah untuk
melakukan desentralisasi pembangunan terutama berkaitan dengan beberapa sektor
pembangunan yang dipandang sudah mampu dilaksanakan di daerah masing-masing,
berarti pengambilan keputusan pembangunan berada pada tingkat daerah. Kata
kunci kedua mengandung makna adanya kenyataan bahwa masing-masing daerah
memiliki potensi, baik alam, sumberdaya manusia maupun kondisi geografis yang
berbeda-beda, yang menyebabkan ada daerah yang memiliki potensi untuk
berkembang secara cepat. Sebaliknya ada pula daerah yang kurang dapat
berkembang karwena berbagai keterbatasan yang dimilikinya. Adanya perbedaan
potensi antar daerah ini menyebabkan peran pemerintah pusat sebagai ‘pengatur
kebijaksanaan pemabngunan nasional’ tetap diperlukan agar timbul keselarasan,
keseimbangan dan keserasian perkembangan semua daerah. Baik yang memiliki
potensi yang berlebihan maupun yang kurang memiliki potensi. Dengan demikian,
melalui otonomi dalam pengaturan pendapatan, sistem pajak, keamanan warga,
sistem perbankan, dan berbagai pengaturan lain yang diputuskan daerah sendiri,
pembangunan
setempat dijalankan.
Sesuai dengan buku “Grand Design Pembangunan Kependudukan Tahun
2011-2035” yang dikeluarkan oleh Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan
Rakyat, saat ini pembangunan kependudukan Indonesia lebih dipokokkan pada
pengendalian kuantitas penduduk, pengingkatan kualitas penduduk, strategi
pembangunan keluarga, pengarahan mobilitas penduduk, serta pembangunan sistem
data dan informasi kependudukan.
Pengelolaan kuantitas penduduk pada dasarnya diarahkan untuk
mengendalikan pertumbuhan penduduk melalui pengaturan kelahiran. Kebijakan
pengaturan kelahiran/fertilitas dilakukan melalui pemenuhan hak reproduksi
untuk mencapai kesehatan reproduksi yang prima melalui program KB yang mengatur
tentang: (1) Usia ideal perkawinan; (2) Usia ideal melahirkan; (3) Jarak ideal
melahirkan; dan (4) Jumlah ideal anak yang dilahirkan. Pengaturan fertilitas melalui program KB
dilakukan dengan: (1) Peningkatan akses dan kualitas KIE serta pelayanan
kontrasepsi di daerah. (2) Larangan pemaksaan pelayanan KB karena bertentangan
dengan HAM, (3) Pelayanan kontrasepsi dilakukan sesuai dengan norma agama,
budaya, etika dan kesehatan, serta (4) Perhatian bagi penyediaan kontrasepsi
bagi penduduk miskin di daerah terpencil, tertinggal, dan perbatasan.
Selain pengaturan kelahiran, pengendalian kuantitas penduduk juga
dilakukan dengan upaya penurunan mortalitas (angka kematian). Penurunan angka
kematian bertujuan untuk mewujudkan penduduk tumbuh seimbang dan berkualitas
pada seluruh dimensinya. Penurunan angka kematian ini diprioritaskan pada upaya
(1) penurunan angka kematian ibu hamil, (2) penurunan angka kematian ibu
melahirkan, (3) penurunan angka kematian pasca melahirkan, serta (4) penurunan
angka kematian bayi dan anak.
Peningkatan kualitas penduduk mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi
kesehatan dan dimensi pendidikan. Strategi di bidang kesehatan dilakukan untuk
menurunkan angka kematian bayi dan anak serta keamtian maternal. Untuk itu,
strategi utama yang harus dilakukan adalah melakukan pencegahan dan treatment
penyakit infeksi, khususnya pada bayi dan anak-anak. Strategi penurunan kematian
maternal sangat erat kaitannya dengan program KB sehingga strategi yang dijalankan
untuk pelaksanaan program KB juga akan memberikan kontribusi terhadap penurunan
angka kematian maternal. Dari sisi pendidikan, strategi yang harus dilakukan
adalah memberikan akses yang sebesar-besarnya kepada kelompok rentan, khususnya
penduduk miskin, untuk memperoleh pendidikan. Penurunan gender gap dalam
hal akses terhadap pelayanan pendidikan juga penting sebagai prioritas,
khususnya untuk mengatasi masalah di berbagai daerah yang masih lebar
kesenjangan pendidikan antara laki-laki dan perempuan
Dalam konteks perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga perlu memperoleh
perhatian khusus guna terlaksanannya pembangunan nasional yang berkelanjutan. Penempatan
penduduk sebagai titik sentral pembangunan tidak saja merupakan program nasional
namun juga komitmen hampir seluruh bangsa di dunia yang tergabung dalam Perserikatan
Bangsa-Bangsa sebagaimana lertuang dalam Laporan situasi Kependudukan Dunia yang
mengumumkan bahwa "penduduk bumi akan mencapai 7 (tujuh) milyar" tanggal
31 Oktober 20Il. Untuk melaksanakan perkembangan kependudukan dan pembangunan
keluarga diperlukan suatu lembaga yang kuat [3].
Program
pembangunan keluarga menjadi unggulan Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional yang akan disinergikan bersama Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak. Program
pembangunan keluarga ditujukan untuk peningkatan ketahanan dan kesejahteraan
keluarga. Program ini menyatu antara BKKBN dan Kementerian PPPA dari pusat
sampai daerah. Pembangunan keluarga mempunyai sasaran yaitu seluruh keluarga
Indonesia yang terdiri dari keluarga dan siklus keluarganya; keluarga yang
memiliki potensi dan sumber kesejahteraan sosial; keluarga rentan secara
ekonomi, sosial, lingkungan, maupun budaya; serta keluarga yang bermasalah
secara ekonomi dan sosial psikologis. Strategi yang dilakukan yaitu dengan, (1) membangun keluarga yang
bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa melalui pendidikan etika, moral, dan sosial
budaya secara formal maupun informal, (2) membangun iklim berkeluarga
berdasarkan perkawinan yang sah, (3) membangun keluarga harmonis, sejahtera,
sehat, maju dan mandiri, (4) membangun keluarga berwawasan nasional dan
berkontribusi kepada bangsa dan Negara melalui kegiatan Komunikasi, Informasi,
dan Edukasi (KIE) keluarga, serta (5) membangun keluarga yang mampu
merencanakan sumber daya dengan pendampingan manajemen sumber daya keluarga.
Selain itu, dalam upaya
peningkatan kualitas anak dan balita program Bina Keluarga Balita atau BKB menjadi
program bersama yang dikembangkan agar anak mendapatkan perlindungan dan
pengasuhan yang baik dari keluarganya. Program
ini merupakan upaya untuk mengingatkan para orang tua tentang pentingnya
pengasuhan dan gizi anak di 1.000 hari pertama kehidupan. BKKBN
juga meningkatkan berbagai program terkait remaja melalui generasi berencana (GenRe).
GenRe merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas remaja dan khususnya
perempuan. Tujuannya agar para remaja dapat terhindar dari seks bebas, napza
dan HIV/AIDS. Program ini diharapkan mampu mendewasakan usia perkawinannya,
menghindarkan remaja putri dari kehamilan tidak diinginkan yang dapat
meningkatkan kematian ibu [2].
Pengarahan mobilitas penduduk bertujuan untuk mewujudkan persebaran
penduduk optimal yang didasarkan pada keseimbangan jumlah penduduk dengan daya
dukung alam dan daya tampung lingkungan. Mobilitas penduduk dibagi menjadi 2
kategori, yaitu mobilitas penduduk internal dan mobilitas penduduk
internasional.
Mobilitas penduduk internal mencakup hal-hal berikut: (1) Mobilitas
penduduk permanen dan non permanen; (2) Mobilitas penduduk ke daerah penyangga
dan ke pusat pertumbuhan ekonomi baru; (3) Penataan persebaran penduduk melalui
kerjasama daerah; (4) Urbanisasi; dan (5) Persebaran penduduk ke daerah
perbatasan dan daerah tertinggal serta pulau-pulau kecil terluar. Strategi
pengarahan mobilitas penduduk dilakukan melalui pengupayaan peningkatan
mobilitas nonpermanent dengan cara menyediakan berbagai fasilitas
sosial, ekonomi, biudaya, dan administrasi di beberapa daerah yang
diproyeksikan sebgai daerah tujuan mobilitas penduduk, serta untuk mengurangi
mobilitas penduduk ke kota megapolitan, seperti Jakarta dan supaya hal itu
tidak terulang di luar Jawa, perlu adanya penataan wilayah penyangga dengan
mengembangkan daerah tujuan transmigrasi yang secara khusus diintegrasikan
dengan kota besar sekitarnya. Transmigrasi seharusnya tidak terkesan membuang
penduduk ke wilayah terpencil, tetapi benar-benar menonjolkan napas distribusi
penduduk.
Mobilitas penduduk internasional dilaksanakan melalui kerjasama
internasional dengan Negara pengirim dan penerima migran internasional ke dan
dari Indonesia sesuai dengan perjanjian internasional yang telah diterima dan
disepakati oleh pemerintah.
Dalam pembangunan sistem data dan informasi kependudukan, kebijakan umum
pembangunan database kependudukan dilakukan dengan mengembangkan database
kependudukan yang memiliki akurasi dan tingkat kepercayaan yang tinggi serta
dikelola dalam suatu sistem yang integratif, mudah diakses oleh para pemangku
kepentingan, serta menjadi bagian dari Decision Support System (DSS).
Kondisi ini didukung oleh penguatan kapasitas sumber daya manusia yang memiliki
kompetensi tinggi, infrastruktur yang memadai, serta sistem kelembagaan yang
kuat. Penerapan sistem informasi
administrasi kependudukan daring diatur dalam Keputusan Presiden (Keppres) No.
88/2004 tentang pengelolaan administrasi kependudukan, Undang-Undang (UU) No.
23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan dan Peraturan Menteri Dalam
Negeri (Permendagri) No. 18/2005 serta Peraturan Pemerintah (PP) No. 37 tahun
2007 tentang administrasi kependudukan.
Pencatatan
data penduduk suatu daerah yang melalui sistem informasi administrasi
kependudukan menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten dan kota dimana dalam
pelaksanaannya diawali dari desa dan kelurahan sebagai awal dari pendataan
penduduk disuatu daerah. Selanjutnya data-data tersebut akan disimpan kedalam
satu basis data yang
terintegrasi secara nasional melalui jaringan internet. Sehingga data-data tersebut menjadi sumber basis data
kependudukan secara nasional yang selanjutnya menjadi tanggung jawab pemerintah
pusat. sesuai dengan Undang-Undang (UU) No. 23 tahun 2006 tentang administrasi
kependudukan, SIAK adalah sistem informasi yang memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi untuk memfasilitasi pengelolaan data kependudukan
ditingkat Penyelenggara dan Instansi Pelaksana sebagai satu kesatuan yang
selanjutnya memasukan data-data tersebut kedalam satu pusat data (data center)
di Direktorat Jenderal Administrasi Kependudukan. Pengadaan program e-ktp merupakan salah satu contoh nyata penerapan pembangunan
sistem data dan informasi kependudukan yang dapat mempermudah dalam pengumpulan
informasi administrasi kependudukan.
Sebagai warga Negara yang baik, seyogyanya rakyat Indonesia ikut serta
mendukung berbagai rencana upaya yang dilakukan pemerintah dalam rangka
mewujudkan pembangunan yang berwawasan kependudukan dan tentu dengan tetap
mengawasi berjalannya kebijakan tersebut agar seluruh rakyat Indonesia dapat
merasakan manfaat dari kebijakan yang ada yaitu berupa kesejahteraan yang
merata.
Salam GenRe. J
Sumber:
[1] Tjiptoherijanto, Prijono. 2002. Dimensi
Kependudukan dalam Pembangunan Berkelanjutan. Diakses pada http://documents.tips/download/link/kependudukan-dan-pembangunan-berkelanjutan-562bad7e405fc
[2] BKKBN Unggulkan Program Pembangunan
Keluarga diakses dalam http://klikpositif.com/klik/detil/12011/bkkbn-unggulkan-program-pembangunan-keluarga.html
[3] Peraturan
Pemeritah Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2014 Tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Keluarga Berencana, dan Sistem Informasi
Keluarga.
Grand Design
Pembangunan Kependudukan Tahun 2011-2035 dalam http://www.slideshare.net/OswarMungkasa/buku-1-a5-gabung
Grand Design
Pengendalian Kuantitas Penduduk dalam http://www.bkkbn.go.id/kependudukan/DITJAKDUK/Grand%20Design%20Pengendalian%20Kuantitas%20Penduduk/GRAND_DESIGN_PENGENDALIAN_KUANTITAS_PENDUDUK.pdf
Rabu, 02 Maret 2016
Indonesia merupakan Negara berkembang dengan jumlah
penduduk ke-4 terbanyak di dunia. Menurut data resmi sensus penduduk pada tahun
2010 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia memiliki jumlah penduduk
sebanyak 237,6 juta jiwa dan diprediksi akan terus meningkat setiap tahunnya. Bahkan,
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memproyeksikan bahwa jumlah
penduduk Indonesia pada tahun 2035 mendatang berjumlah 305,6 juta jiwa. Jumlah
ini meningkat 28,6 persen dari tahun 2010.
Sedangkan pada tahun 2015 BPS memproyeksikan jumlah penduduk Indonesia adalah
252,2 juta jiwa. Peningkatan
jumlah penduduk seperti ini sebenarnya sudah diminimalisir dengan adanya Gerakan
Keluarga Berencana Nasional Indonesia yang dimulai sejak tahun 70-an. Meski begitu,
jumlah penduduk Indonesia masih terus meningkat dan ditambah lagi dengan
meningkatnya penduduk berusia produktif (usia 15 tahun sampai 65 tahun) atau
yang diistilahkan sebagai bonus demografi.
![]() |
| Ilustrasi bonus demografi |
Mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)
atau Kepala Bappenas periode 2009-2014 Armida S Alisjahbana
mengatakan, Indonesia
telah memasuki bonus demografi (rasio ketergantungan terhadap penduduk tak
produktif) sejak tahun 2012, yakni 49,6 persen. . Itu artinya, setiap 100 orang
penduduk usia produktif menanggung 50
orang penduduk usia tidak produktif (< 15 tahun dan ≥ 65 tahun). Atas dasar itu, penduduk
Indonesia yang produktif lebih banyak daripada penduduk yang tak produktif. Pada tahun 2010, proporsi
penduduk usia produktif adalah sebesar 66,5 persen. Proporsi ini terus
meningkat mencapai 68,1 persen pada tahun 2028 sampai tahun 2031. Meningkatnya
jumlah penduduk usia produktif menyebabkan menurunnya angka ketergantungan,
yaitu jumlah penduduk usia tidak produktif yang ditanggung oleh 100 orang
penduduk usia produktif dari 50,5 persen pada tahun 2010 menjadi 46,9 persen
pada periode 2028-2031. Tetapi angka ketergantungan ini mulai naik kembali
menjadi 47,3 persen pada tahun 2035.
Sementara
itu, menurut data BPS jumlah angkatan kerja tahun 2015 di Indonesia sebanyak
128,3 juta orang. Pada tahun 2015, angka rasio ketergantungan sebesar 48,6. Itu
artinya, setiap 100 orang penduduk usia produktif menanggung 49 orang penduduk
usia tidak produktif (< 15 tahun dan ≥ 65 tahun). Namun rasio ketergantungan
cenderung menurun belakangan setelah sempat mencapai 70% dan diperkirakan akan
mencapai titik terendah pada 2020-2030. Hal ini sejalan dengan
laporan PBB, yang menyatakan bahwa dibandingkan dengan negara Asia lainnya,
angka ketergantungan penduduk Indonesia akan terus turun sampai 2020. Pada
periode itu akan terdapat peluang lebih besar untuk melakukan investasi manusia
guna mendorong produksi.
Gambaran konkretnya, jika rasio
ketergantungan pada tahun 1971 masih tercatat angka 86, maka pada 2000 turun
menjadi 54,7 dan turun lagi menjadi hanya 51 pada 2010. Artinya, jika setiap
100 penduduk usia produktif pada 1971 harus membiayai hidup sebanyak 86
penduduk usia tidak produktif, maka tahun 2000 turun menjadi 54,7 penduduk dan
turun lagi menjadi hanya 51 penduduk pada 2010.
Sepuluh tahun berikutnya, tahun 2020, angka ketergantungan itu
diperkirakan akan mengalami titik paling rendah karena setiap 100 penduduk usia
produktif hanya akan menanggung 44 penduduk tidak produktif dan diperkirakan
akan berlangsung hingga 2030. Jelasnya, jumlah maupun besarnya proporsi
penduduk yang potensial bisa bekerja—sering disebut juga sebagai mesin
pertumbuhan (engine of growth)— dalam periode 10 tahun itu akan mencapai
dua kali lipat lebih dibanding jumlah dan proporsi penduduk yang harus mereka tanggung.
Dampak ekonomisnya, pada saat itu
diharapkan akan lebih banyak lagi jumlah penduduk yang bisa menghasilkan dan
menabungsertamenginvestasikan kembali tabungannya untuk terus meningkatkan
produktivitas dan kesejahteraannya. Inilah momentum bagi bangsa Indonesia,
dengan jumlah penduduknya terbesar keempat di dunia, untuk bangkit dari
berbagai ketertinggalannya termasuk meningkatkan pertumbuhan ekonominya.
Itulah fenomena demografis sekaligus
jendela peluang (window of opportunity), yang oleh para pakar
kependudukan disebut “bonus demografi” (demographic dividend) yang akan
terjadi hanya satu kali dalam sejarah kependudukan sebuah bangsa. Mengapa?
Karena setelah kurun waktu 2030, angka ketergantungan itu diperkirakan akan kembali
mengalami peningkatan. Bukan
karena adanya peningkatan usia di bawah 15 tahun, melainkan karena semakin
meningkatnya penduduk lansia sebagai dampak dari semakin meningkatnya rata-rata
usia harapan hidup. Dalam evolusi kependudukan, sebuah negara akan mengalami
sekaligus menikmati bonus demografi ketika angka ketergantungan penduduknya
berada di rentang antara 40–50, yang berarti bahwa 100 orang usia produktif
hanya menanggung 40–50 penduduk usia tidak produktif.
Dengan kriteria di atas, tercatat
sejumlah negara di Eropa yang telah melewati masa keemasan bonus demografinya
karena terjadi secara bervariasi antara 1950–2000. Sementara China sudah mulai
menikmati bonus demografinya sejak 1990 dan akan berlangsung hingga 2015. India,
hampir sama dengan Indonesia, terjadi mulai 2010, disusul negara-negara di
belahan Afrika yang bonus demografinya diperkirakan akan datang lebih lambat
lagi dan akan berakhir hingga 2045.
Namun, peluang emas yang merupakan
bonus demografi itu tidak akan terjadi secara linier, apalagi datang begitu
saja secara taken for granted. Artinya, butuh prasyarat untuk bisa
mewujudkannya. Butuh konsep matang dan realistik untuk mempersiapkannya.
Menteri
PPN/Kepala Bappenas Andrinof Chaniago yang menjadi salah satu pembicara forum High-level Dialogue on
Capitalizing on the Demographic Dividend yang diselenggarakan berkat
kerja sama Ikatan Praktisi dan Ahli Demografi Indonesia (IPADI) serta United
Nations Population Fund (UNFPA) tahun 2015 menggaris bawahi pentingnya
kesiapan Indonesia menyambut tahun 2020-2030, periode terjadinya bonus
demografi, yakni bonus yang dinikmati karena besarnya proporsi penduduk
produktif dalam rentang usia 15-64 tahun. Menteri Andrinof mengungkapkan
manfaat bonus demografi bisa dinikmati dengan dua cara jitu, meningkatkan
kualitas penduduk dan menelaah mobilitas penduduk. Untuk mewujudkan generasi
berkualitas, masyarakat harus memiliki etos kerja yang gigih guna meningkatkan
produktivitas. UNFPA Executive
Director and Chair of the WEF Global
Council on the Demographic Dividend Babatunde Osotimehin juga menyatakan
kualitas penduduk menjadi kunci keberhasilan Indonesia dalam memanfaatkan bonus
demografi. Seiring dengan pentingnya fokus pembangunan infrastuktur,
Indonesia juga harus fokus pada pembangunan non fisik. Indonesia butuh investasi
di edukasi formal dan vokasional serta kesehatan.
Karena itu, paling tidak ada dua
agenda besar yang harus dilakukan bangsa pada saat ini. Agenda besar pertama dan utama adalah
menyangkut upaya untuk terus meningkatkan sekaligus mengakselerasi pendidikan penduduknya,
termasuk derajat kesehatannya. Logikanya, bagaimana mungkin produktivitas
penduduk muda itu bisa ditingkatkan jika kebanyakan di antara mereka hanya
memiliki ijazah SD atau SMP seperti umumnya potret saat ini. Bagaimana
mungkin produktivitas penduduk usia muda itu juga bisa ditingkatkan jika
kondisi fisik mereka begitu rentan dengan banyak penyakit lantaran kekurangan
gizi dan sebagainya. Jangan lupa, bagaimana mungkin produktivitas penduduk usia
muda itu juga bisa ditingkatkan jika pemerintah gagal menyediakan lapangan
kerja yang mereka butuhkan. Di situlah pula relevansinya bagi
bangsaini—salahsatunya—untuk terus mengembangkan lebih banyak sekolah, termasuk
perguruan tinggi berbasis vokasi atau kejuruan yang diarahkan pada upaya
memperkuat sekaligus memperluas pusat-pusat pertumbuhan ekonomi setiap wilayah.
Agenda besar kedua adalah peningkatan
kualitas program Keluarga Berencana (KB) supaya kedepannya program ini
dapat lebih luas dan merata dalam
menjangkau setiap keluarga Indonesia agar jumlah anak setiap keluarga dapat semakin
dikontrol. Pasalnya, jika kualitas program KB tidak
mengalami kemajuan maka angka kelahiran (fertilitas) dapat kembali meningkat, dan
hampir bisa dipastikan bahwa angka ketergantungan penduduk juga akan kembali
mengalami peningkatan. Dampaknya, peluang emas yang diproyeksikan bakal terjadi
pada 2020–2030 itu bukan saja akan mengalami kemunduran melainkan juga akan
sulit diwujudkan.
Bonus
demografi memang merupakan berkah bagi suatu Negara, namun juga bisa jadi
bencana jika Negara tidak menyiapkan sedari dini akan datangnya masa bonus
demografi tersebut. Semoga saja Indonesia bisa menjadi salah satu Negara yang
dapat memetik buah manis dari bonus demografi yang diproyeksikan akan terjadi
pada tahun 2020-2030 tersebut.
Salam GenRe. J
Sumber :
http://www.academia.edu/7188182/BONUS
Indonesia merupakan
Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari sekitar 17.508 pulau,
tersebar dari Sabang sampai Merauke, dengan luas wilayah daratan ± 2.012.402 km2 dan luas perairan ± 5.877.879 km2. Dengan wilayah yang
begitu luas, mau tidak mau Indonesia harus menanggung segudang permasalahan
kependudukan. Sebaliknya apabila bisa diatasi dengan baik maka dapat menjadi
hal yang mampu membawa Indonesia lebih dekat menuju cita-citanya yaitu menjadi
bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur sebagaimana tercantum
dalam Pembukaan UUD 1945. Untuk dapat mengidentifikasi permasalahan
kependudukan yang ada saat ini maka terlebih dahulu harus mengetahui bagaimana
sebenarnya gambaran umum kependudukan di Indonesia sendiri. Berikut ini
beberapa gambaran kependudukan di Indonesia :
1. Jumlah Populasi
Jumlah penduduk Indonesia adalah 237.641.326 jiwa
menurut data resmi sensus penduduk 2010 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat
Statistik (BPS). Sedangkan jumlah penduduk Indonesia menurut data statistik
yang dikeluarkan BPS tahun 2015 sebanyak 252.164.800 jiwa.
![]() |
| Sumber: Statistik Indonesia 2015 |
Jumlah tersebut merupakan jumlah proyeksi penduduk
yang didapat dari pengolahan hasil sensus penduduk
tahun 2010, karena sensus penduduk dilakukan sepuluh tahun sekali. Dengan
jumlah sebanyak itu, Indonesia masih berada di peringkat ke-4 negara
berpenduduk terbanyak di dunia, setelah China, India dan Amerika Serikat. Jumlah
penduduk yang besar ini sebenarnya bisa menjadi masalah, bisa juga menjadi aset
suatu negara. Masalahnya adalah penduduk bisa menjadi aset jikalau kualitas
penduduknya pun baik, sebaliknya, jika kualitas penduduknya buruk maka hanya
akan menjadi masalah bagi Negara itu sendiri.
2. Prevalensi Kontrasepsi
Dalam
kurun waktu 30 tahun, 1961-1990, jumlah penduduk Indonesia meledak 2 kali
lipat, semula 97,1 juta jiwa menjadi 179,4 juta jiwa. Hal ini mengakibatkan pos
pelayanan terpadu (posyandu) sangat mengemuka dalam pelayanan kesehatan ibu dan
anak. Selain itu, posyandu juga berperan sebagai ujung tombak Keluarga
Berencana (KB), yang mengatur laju pertumbuhan jumlah penduduk melalui berbagai
kontrasepsi. Angka
Prevalensi Pemakaian Kontrasepsi adalah angka yang menunjukkan berapa banyaknya
Pasangan Usia Subur (PUS) yang sedang memakai
kontrasepsi pada saat pencacahan dibandingkan dengan seluruh PUS.
Angka
Prevelensi Kontrasepsi ini sering disebut dengan CPR (Contraceptive Prevalence Rate). Informasi
tentang besarnya CPR sangat bermanfaat untuk menetapkan kebijakan pengendalian
kependudukan, serta penyediaan pelayanan KB baik dalam bentuk mempersiapkan
pelayanan kontrasepsi seperti sterilisasi, pemasangan IUD, persiapan alat dan
obat kontrasepsi, serta pelayanan konseling untuk menampung kebutuhan dan
menanggapi keluhan pemakaian kontrasepsi.
![]() |
| sumber: infodatin Kementrian Kesehatan RI 2014 |
Data SDKI 2012 menunjukkan tren Prevalensi Penggunaan Kontrasepsi atau Contraceptive
Prevalence Rate (CPR) di Indonesia sejak 1992-2012 cenderung meningkat,
sementara tren Angka Fertilitas atau Total Fertility Rate (TFR) cenderung
menurun. Hal
ini menunjukan bahwa kesadaran masyarakat Indonesia dalam program Keluarga
Berencana cukup besar, dilihat dari tingginya angka pemakaian kontrasepsi. Namun, efek yang timbul dari program ini
belum nampak terlihat karena jumlah penduduk tetap besar dan keluarga kecil
yang terdiri dari dua anak pun masih jarang.
3. Angka Kematian Kasar (Crude Death Rate)
Angka
kematian kasar (Crude Death Rate) adalah
angka yang menunjukkan banyaknya kematian untuk setiap 1000 orang penduduk pada
pertengahan tahun yang terjadi pada suatu daerah pada waktu tertentu. Angka kematian kasar adalah indikator sederhana yang
tidak memperhitungkan pengaruh umur penduduk. Sehingga angka ini berguna untuk
memberikan gambaran kepada kesejahteraan penduduk pada suatu tahun yang
bersangkutan.
Angka
kematian kasar Indonesia menurut World
Health Organization (WHO) tahun 2014 adalah sebesar 6 dari 1000
penduduk Indonesia. Angka kematian bayi saat ini di Indonesia sudah membaik,
namun angka kematian ibu melahirkan masih tinggi. Hal tersebut terjadi karena
kurangnya perhatian terhadap ibu hamil dan bayinya pada saat mengandung. Dengan angka kematian kasar
sebesar itu, Indonesia berada pada peringkat 155 diantara 224
negara di dunia. Namun di ASEAN, angka kematian kasar Indonesia
lebih baik dibandingkan Laos dan
Thailand. Sedangkan angka kematian kasar terkecil didominasi oleh Negara di Timur Tengah.
4. Angka Ketergantungan (Dependency
Ratio)
Rasio
Ketergantungan (Dependency
Ratio) adalah perbandingan antara jumlah penduduk umur 0-14 tahun, ditambah
dengan jumlah penduduk 65 tahun ke atas (keduanya disebut dengan bukan angkatan
kerja) dibandingkan dengan jumlah pendduk usia 15-64 tahun (angkatan kerja).
Menurut data BPS, jumlah angkatan kerja tahun 2015 di Indonesia sebanyak 128,3
juta orang. Pada tahun 2015, angka rasio ketergantungan sebesar 48,6. Itu
artinya, setiap 100 orang penduduk usia produktif menanggung 49 orang penduduk
usia tidak produktif (< 15 tahun dan ≥ 65 tahun). Namun rasio ketergantungan
cenderung menurun belakangan setelah sempat mencapai 70% dan diperkirakan akan
mencapai titik terendah pada 2020-2030. Hal ini sejalan dengan
laporan PBB, yang menyatakan bahwa dibandingkan dengan negara Asia lainnya,
angka ketergantungan penduduk Indonesia akan terus turun sampai 2020. Pada
periode itu akan terdapat peluang lebih besar untuk melakukan investasi manusia
guna mendorong produksi.
Tentu
saja ini merupakan suatu berkah. Melimpahnya jumlah penduduk usia kerja akan
menguntungkan dari sisi pembangunan sehingga dapat memacu pertumbuhan ekonomi
ke tingkat yang lebih tinggi. Impasnya adalah meningkatkannya kesejahteraan
masyarakat secara keseluruhan. Namun berkah ini bisa berbalik menjadi bencana
jika bonus ini tidak dipersiapkan kedatangannya. Masalah yang paling nyata
adalah ketersedian lapangan pekerjaan. Kalaupun tersedia lapangan pekerjaan, mampukan
sumber daya manusia yang melimpah ini bersaing dengan dunia kerja dan pasar
internasional? Permasalahan pembangunan sumber
daya manusia inilah yang harusnya bisa diselesaikan dari sekarang, jauh sebelum
bonus demografi datang. Jangan sampai hal yang menjadi berkah justru membawa
bencana dan membebani negara karena masalah yang mendasar: kualitas manusia.
5. Angka Kelahiran Kasar (Crude
Birth Rate)
Angka
Kelahiran Kasar (Crude Birth
Rate/CBR) merupakan angka yang menunjukkan banyaknya kelahiran pada
tahun tertentu per 1000 penduduk pada pertengahan tahun yang sama. Angka
kelahiran kasar dihitung untuk mengetahui tingkat kelahiran yang terjadi di
suatu daerah tertentu pada waktu tertentu. Menurut
data dari CIA World Factbook, saat ini (tahun 2015) angka kelahiran kasar di Indonesia berada pada angka 17 di setiap 1000 penduduk di Indonesia. Negara Indonesia berada pada
peringkat 110 dari 224 negara di dunia.
6.
Angka Kelahiran Total (Total Fertility Rate)
Angka Fertilitas Total (Total Fertility Rate/TFR) adalah rata-rata
anak yang dilahirkan seorang wanita selama masa usia suburnya. TFR merupakan
gambaran mengenai rata-rata jumlah anak yang dilahirkan seorang perempuan dari
usia 15 sampai 49 tahun. Perbandingan angka TFR antar negara atau antar daerah
dapat menunjukkan keberhasilan daerah dalam melaksanakan pembangunan sosial
ekonominya. Angka TFR yang tinggi dapat merupakan cerminan rata-rata usia kawin
yang rendah, tingkat pendidikan yang rendah terutama perempuannya,
tingkat sosial ekonomi rendah atau tingkat kemiskinan yang tinggi. Selain itu
tentu saja menunjukkan tingkat keberhasilan program KB yang dilaksanakan selama
tiga dekade ini.
![]() |
| sumber: infodatin Kementrian Kesehatan RI 2014 |
Dari angka kelahiran total,
dapat diketahui indikator yang menyangkut kesehatan ibu. Jika angka kelahiran
total tinggi maka hal ini mencerminkan rata-rata usia kawin yang rendah,
tingkat pendidikan perempuan yang rendah, tingkat sosial ekonomi rendah, dan
tingkat kemiskinan tinggi. Total Fertility Rate Indonesia pada tahun 2012 mencapai 2,6, artinya seorang wanita memiliki 2-3 anak dalam usia suburnya. Dengan
TFR 2,6, Indonesia masih berada di atas rata-rata TFR Negara ASEAN yaitu 2,4
dan memiliki potensi untuk angka kelahiran yang tinggi, dan
berada pada peringkat 106 di dunia, setara dengan El Salvador dan Bangladesh.
7.
Angka Harapan
Hidup
Angka Harapan Hidup adalah rata-rata tahun hidup yang masih akan dijalani
oleh seseorang yang telah berhasil mencapai umur x, pada suatu tahun tertentu,
dalam situasi mortalitas yang berlaku di lingkungan masyarakatnya. Angka Harapan Hidup
merupakan alat untuk mengevaluasi kinerja pemerintah dalam meningkatkan
kesejahteraan penduduk pada umumnya, dan meningkatkan derajat kesehatan pada
khususnya. Angka Harapan Hidup yang rendah di suatu daerah harus diikuti dengan
program pembangunan kesehatan, dan program sosial lainnya termasuk kesehatan
lingkungan, kecukupan gizi dan kalori termasuk program pemberantasan
kemiskinan.
Langganan:
Komentar (Atom)







0 komentar: