Latest Articles

Rabu, 15 Juni 2016

Mengenal Lebih Dekat SDGs (Sustainable Development Goals) 2015-2030

            Jika ada satu singkatan yang paling banyak menjadi berita pada tahun 2015 lalu, salah satunya yang menonjol adalah SDGs [dibaca: esdigi], Sustainable Development Goals (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan). Proses perumusan SDGs berbeda sekali dengan MDGs ((Millenium Development Goals) yang telah berjalan dari tahun 2000-2015. SDGs disusun melalui proses yang partisipatif, salah satunya melalui survei Myworld. Salah satu perubahan mendasar yang dibawa oleh SDGs adalah prinsip “tidak ada seorang pun yang ditinggalkan”. SDGs juga mengandung prinsip yang menekankan kesetaraan antar–negara dan antar–warga negara. SDGs berlaku untuk semua (universal) negara–negara anggota PBB, baik negara maju, miskin, dan negara berkembang.
Sumber gambar : www.caritas.org
SDGs dibangun secara partisipatif. PBB bekerja sama dengan beberapa lembaga mitranya telah menyelenggarakan survei warga, yang disebut sebagai Myworld Survey (http://data.myworld2015.org/). Hasil survei hingga November tanggal 21 pukul 11.34 telah mengumpulkan sebanyak 8, 5 juta lebih suara (persisnya 8.583.717 untuk semua negara). Untuk seluruh dunia, empat prioritas menjadi usulan yaitu pendidikan yang bermutu, kesehatan yang lebih baik, kesempatan kerja lebih baik, dan tata pemerintahan yang jujur dan tanggap. Untuk Indonesia, telah terkumpul 38 ribu suara (persisnya 38.422 suara), dengan prioritas yang sedikit berbeda dengan prioritas global yaitu;pendidikan yang bermutu, kesehatan yang baik, tata pemerintahan yang jujur dan tanggap, serta kesempatan kerja yang lebih baik. Survei mengajak warga untuk memilih enam di antara 16 keadaan yang lebih baik untuk masa depan. Meksiko menjadi negara yang paling banyak menyumbang suara, dengan jumlah lebih dari 1,6 juta suara. Survei ini diadakan sejak 2013 hingga 2015, untuk menjadi masukan bagi Sekjen PBB dan para pemimpin dunia yang merumuskan dan mengesahkan SDGs pada September 2015. 
Sidang umum Perserikatan Bangsa–Bangsa (PBB) pada 25 September 2015 lalu di New York, Amerika Serikat, secara resmi telah mengesahkan Agenda Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs sebagai kesepakatan pembangunan global. Sekurangnya 193 kepala negara hadir, termasuk Wakil Presiden Jusuf Kalla, turut mengesahkan Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030 untuk Indonesia. Mulai tahun 2016, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2015–2030 secara resmi menggantikan Tujuan Pembangunan Millennium (MDGs) 2000–2015. SDGs berisi seperangkat tujuan transformatif yang disepakati dan berlaku bagi seluruh bangsa tanpa terkecuali [1]. 
SDGs adalah (a) sebuah kesepakatan pembangunan baru pengganti MDGs. Masa berlakunya 2015–2030; (b) sebuah dokumen setebal 35 halaman yang disepakati oleh lebih dari 190 negara; (c) berisikan 17 goals dan 169 sasaran pembangunan. Ke-tujuhbelas tujuan tersebut adalah:
Tujuan 1. Mengakhiri kemiskinan dalam segala bentuk dimanapun
Tujuan 2. Mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan nutrisi yang lebih baik dan mendukung pertanian berkelanjutan
Tujuan 3. Memastikan kehidupan yang sehat dan mendukung kesejahteraan bagi semua untuk semua usia
Tujuan 4. Memastikan pendidikan yang inklusif dan berkualitas setara, juga mendukung kesempatan belajar seumur hidup bagi semua
Tujuan 5. Mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan
Tujuan 6. Memastikan ketersediaan dan manajemen air bersih yang berkelanjutan dan sanitasi bagi semua
Tujuan 7. Memastikan akses terhadap energi yang terjangkau, dapat diandalkan, berkelanjutan dan modern bagi semua
Tujuan 8. Mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, tenaga kerja penuh dan produktif dan pekerjaan yang layak bagi semua
Tujuan 9. Membangun infrastruktur yang tangguh, mendukung industrialisasi yang inklusif dan berkelanjutan dan membantu perkembangan inovasi
Tujuan 10. Mengurangi ketimpangan didalam dan antar negara
Tujuan 11. Membangun kota dan pemukiman yang inklusif, aman, tangguh dan berkelanjutan
Tujuan 12. Memastikan pola konsumsi dan produksi yang berkelanjutan
Tujuan 13. Mengambil aksi segera untuk memerangi perubahan iklim dan dampaknya*
Tujuan 14. Mengkonservasi dan memanfaatkan secara berkelanjutan sumber daya laut, samudra dan maritim untuk pembangunan yang berkelanjutan
Tujuan 15. Melindungi, memulihkan dan mendukung penggunaan yang berkelanjutan terhadap ekosistem daratan, mengelola hutan secara berkelanjutan, memerangi desertifikasi (penggurunan), dan menghambat dan membalikkan degradasi tanah dan menghambat hilangnya keanekaragaman hayati
Tujuan 16. Mendukung masyarakat yang damai dan inklusif untuk pembangunan berkelanjutan, menyediakan akses terhadap keadilan bagi semua dan membangun institusi-institusi yang efektif, akuntabel dan inklusif di semua level
Tujuan 17. Menguatkan ukuran implementasi dan merevitalisasi kemitraan global untuk pembangunan yang berkelanjutan
Setiap tujuan memiliki rincian poin-poin yang merupakan sasaran dari pembangunan berkelanjutan. Daftar lengkap tujuan dan target-target pembangunan tersedia di: http://www.un.org/sustainabledevelopment/sustainable–development–goals/. Sedangkan dokumen hasil tersedia di: https://sustainabledevelopment.un.org/post2015/transformingourworld [4].
Indonesia sendiri sebenarnya telah memiliki prioritas pembangunan, sesuai dengan program dan prioritas dalam Nawacita dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2015–2019. Terdapat konvergensi dan divergensi antara SDGs dan Nawacita. Dalam hal pembangunan manusia dan upaya penurunan ketimpangan, kedua dokumen selaras berjalan. Dalam hal pembangunan ekonomi, keduanya juga teman seiring. Namun, dalam hal keberlanjutan, ekologi dan konservasi lingkungan hidup, maka Nawacita dan RPJMN harus melakukan banyak penyesuaian (konsumsi dan produksi yang berkelanjutan, penurunan kerusakan hutan, manajemen air, laut, dan sebagainya).
Meski begitu, secara keseluruhan banyak pihak sepakat bahwa terdapat beberapa fokus SDGs yang dapat menjadi panduan pembangunan serta sesuai dengan sembilan agenda prioritas Presiden Joko Widodo (Nawacita) di antaranya:
1.       Keberlanjutan agenda pembangunan manusia seperti kemiskinan, kelaparan, keadilan gender, serta pemenuhan akses terhadap air dan sanitasi sebagai isu yang senantiasa strategis.
2.       Peningkatan kesejahteraan dan pendidikan sesuai dengan agenda prioritas peningkatan kualitas hidup manusia melalui jaminan sosial, pendidikan, kesehatan serta reformasi agraria.
3.       Pembangunan ekonomi berkelanjutan merupakan isu baru yang akan difokuskan pada pertumbuhan ekonomi inklusif, serta industrialisasi yang berkelanjutan dan pembangunan hunian serta kota yang berkelanjutan disertai penerapan pola produksi dan konsumsi berkelanjutan.
4.       Akses energi yang terjangkau, sebagai fokus baru yang dikombinasikan dengan pembangunan infrastruktur seperti pembangunan pembangkit listrik, penggunaan biofuel, bendungan, serta jalur transportasi. Pengalihan kepada sumber energi terbarukan serta transparansi pengelolaan sektor energi turut menjadi fokus penting serta tanggung jawab sosial sebagai bagian dari upaya lebih luas untuk menerapkan tata kelola sumber daya berkelanjutan.
5.       Perubahan iklim, di mana Indonesia telah secara sukarela menyatakan komitmennya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Komitmen ini dituangkan dalam Rencana Aksi Nasional Penurunan Gas Rumah Kaca melalui Perpres No. 61/ 2011 dan 33 Rencana Aksi Daerah yang ditetapkan melalui peraturan gubernur. Langkah penurunan emisi diiringi dengan langkah adaptasi. Pelaksanaan rencana mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di berbagai bidang terkait dituangkan di dalam program lintas bidang dalam RPJMN 2015–2019 dengan target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sekitar 26 persen pada tahun 2019 peningkatan ketahanan perubahan iklim di daerah [1].

Sumber gambar : majalahict.com

          Keselarasan SDGs atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030 dengan visi dan misi Presiden Joko Widodo–Jusuf Kalla “Nawacita” diharapkan dapat mengakselarasi pencapaian RPJMN 2014–2019 sekaligus melengkapi prioritas strategi pembangunan terutama terkait dengan tujuan–tujuan yang berkaitan dengan lingkungan, energi bersih serta upaya menangani perubahan iklim.

Keberhasilan SDGs tidak dapat dilepaskan dari peranan penting pemerintah daerah. Mengapa pemerintah daerah? Hal ini didorong oleh kenyataan bahwa sejak pemberlakuan desentralisasi di Indonesia, dua pertiga nasib dan kualitas hidup warga, dalam praktiknya, sangat ditentukan oleh baik–buruknya kinerja pemerintah daerah, mulai dari soal kebersihan lingkungan, seperti pengelolaan sampah, hingga kualitas sekolah dan pelayanan kesehatan. Kita semua tergantung pada tinggi–rendahnya mutu pelayanan publik di daerah.
Bahkan, hal ini bukan saja gejala Indonesia tetapi juga sebuah arus di tingkat dunia. Benjamin Barber, dalam buku If Major Ruled The World (2013), meletakkan harapan kepada para wali kota untuk mengatasi masalah–masalah besar dunia (perubahan iklim, pencegahan terorisme, pengurangan kemiskinan, tata niaga perdagangan obat). Merekalah tenaga dan energi perubahan. Alasan lainnya adalah karena pemerintah kota dan kabupaten (a) berada lebih dekat dengan warganya; (b) memiliki wewenang dan dana; (c) dapat melakukan berbagai inovasi; serta (d) ujung tombak penyedia layanan publik dan berbagai kebijakan serta program pemerintah. Alasan lainnya adalah karena pemerintah kota dan kabupaten (a) berada lebih dekat dengan warganya; (b) memiliki wewenang dan dana; (c) dapat melakukan berbagai inovasi; serta (d) ujung tombak penyedia layanan publik dan berbagai kebijakan serta program pemerintah. [1]
Berbeda dengan Millennium Devolopment Goals (MDGs, 2000-2015), metode dan cara pelaksanaan SDGs menuntut adanya partisipasi warga dan partisipasi publik. Salah satu cara memastikan tercapainya seluruh Tujuan dan Target SDGs adalah dengan melibatkan kelompok-kelompok masyarakat sipil ke dalam kelembagaan Panitia Bersama atau Sekretariat Bersama untuk Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia. Terkait dengan hal itu, Presiden Jokowi telah menyatakan komitmennya untuk membentuk panitia bersama atau joint working group dalam rangka melaksanakan SDGs. Panitia bersama ini akan dikoordinasikan antara Kantor Staf Presiden, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan masyarakat sipil. “Partisipasi masyarakat ini untuk membantu pengawasan jika ada kementerian dan lembaga yang agak ‘miring-miring’,” ujar Presiden Jokowi hari Kamis 17 Desember 2015. Komitmen itu disampaikan langsung oleh Presiden saat bertemu dengan 12 orang perwakilan masyarakat sipil dari sepuluh lembaga di Istana Negara [2].
Di samping itu, dalam upaya mendukung pelaksanaan pembangunan berkelanjutan tersebut, International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) memperkenal lima tokoh masyarakat sebagai Duta Masyarakat untuk Sustainable Development Goals (Duta SDGs). Kelima duta tersebut merupakan tokoh publik yang mengajak komunitas dan masyarakat untuk mencapi tujuan dan target Pembangunan Berkelanjutan. Mereka adalah Muhammad Farhan (Pekerja Seni/Penyiar), Alissa Wahid (Koordinator Nasional Gusdurian), Sophia Latjuba (Pekerja Seni/Aktris), Zoemrotin K. Susilo (Tokoh Gerakan Masyarakat Sipil), dan Abdul Kholiq Arif (Bupati Wonosobo periode 2005-2015).  SDGs bukan hanya milik pemerintah namun juga milik masyarakat. Partisipasi masyarakat dan peranan tokoh masyarakat sangat penting dalam bentuk dukungan, anjuran dan desakan agar target dan tujuan SDGs segera bisa dilaksanakan dan dicapai, jelas Hamong Santono, Senior Program Officer SDGs INFID, di Jakarta, Rabu (24/2/2016) [3].
Sumber gambar : majalahkartini.co.id
Setelah disahkannya SDGs, Pemerintah mempunyai waktu 1 hingga 2 tahun untuk mempersiapkan kebijakan pendukungnya. Di antaranya, penyusunan dasar hukum pelaksanaan, rencana aksi dan kelembagaan serta sumber pembiayaan. Di sinilah peran pemerintah daerah, sektor swasta dan kelompok-kelompok masyarakat sipil sangat dibutuhkan. Dari pengalaman era MDGs (2000–2015), Indonesia ternyata belum berhasil menurunkan angka kematian ibu, akses kepada sanitasi dan air minum, dan penurunan prevalansi AIDS dan HIV [1]. Oleh karena itu, pelaksanaan dan pencapaian SDGs (2016-2030) di Indonesia memang memerlukan komitmen dan kerja keras semua pihak, termasuk pemerintah pusat dan pemerintah daerah, terutama dalam mengurangi ketimpangan; mengurangi tingginya angka kematian ibu dan balita; memberikan akses terhadap sanitasi dan air minum baik di perkotaan maupun perdesaan; serta upaya pelestarian lingkungan.
Sebagai generasi muda penerus pembangunan, kita juga tidak boleh tinggal diam setelah mengetahui adanya SDGs tersebut. Kita harus berupaya untuk ikut mendukung pelaksanaan SDGs di Negara kita Indonesia. Apalagi dalam jangka penerapan SDGs tersebut Indonesia juga berada dalam keadaan yang dinamakan “bonus demografi” dimana angkatan kerja muda berada pada jumlah yang paling banyak diantara angkatan usia lainnya. Upaya tersebut dapat dmulai dari hal kecil. Misalnya, dalam masalah AIDS dan HIV yang ternyata masih belum mengalami penurunan. Seperti yang diketahui bahwa HIV/AIDS sangat erat kaitannya dengan seks bebas dan budaya seks bebas tersebut lebih mudah menjangkit para kawula muda yang memang sedang dalam masa pertumbuhan dimana hormone dan emosi dalam dirinya masih sangat unstabil. Oleh karena itu, sebagai individu, kita harus tahu dan menetapkan dalam pikiran kita bahwa seks bebas itu SALAH dan BAHAYA serta akan menimbulkan banyak masalah. Diantaranya berpeluang terjangkit HIV/AIDS yang sudah kita tahu dapat menimbulkan kematian, parahnya lagi belum ditemukan obatnya. Dengan begitu akan mulai terbentuk prinsip no free sex dalam diri yang diharapkan dapat menjadi tameng, karena tameng paling kuat untuk segala macam tindakan yang tidak benar itu adalah berasal dari dalam diri sendiri.
Selain itu, kawula muda juga harus ikut memonitor perkembangan pelaksanaan SDGs ini, jika dinilai masih ada kekurangan dalam pelaksanaannya, kaum muda dapat menyumbangkan aspirasi dan sarannya terkait bagaimana solusi yang dapat dilakukan guna menutup kekurangan itu atau bahkan bisa langsung take action. Sebab, kaum muda biasanya mempunyai pandangan yang unik mengenai suatu permasalahan sehingga diharapkan ide yang disumbangkan dapat ikut memajukan pembangunan berkelanjutan yang sedang diusahakan pemerintah Indonesia.
Kaum muda adalah cerminan suatu bangsa. Sebagai kaum muda, kita harus bisa tunjukkan kepada dunia bahwa meskipun Indonesia merupakan Negara berkembang, tapi Indonesia akan mampu melaksanakan pembangunan berkelanjutan ini seoptimal mungkin karena negaranya diisi oleh pemuda yang sigap, tanggap, aktif, produktif, solutif, dan kaya akan ide kreatif.

Salam GenRe J

Sumber:
[1] Hoelman, Mickael B., dkk. 2015. Panduan SDGs Untuk Pemerintah Daerah (Kota dan Kabupaten) dan Pemangku Kepentingan Daerah.
[4] International Labour Organization (ILO). Pertanyaan yang Kerap Ditanyakan mengenai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Diakses pada http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-jakarta/documents/publication/wcms_451899.pdf


read more

Rabu, 27 April 2016

Pentingnya Pendidikan Bagi Kaum Muda Indonesia

Sumber Ilustrasi : semangatpemuda.menolakdiam.com
Kaum Muda, diyakini sebagai kelompok masyarakat yang paling dinamis. Bahkan ada pepatah yang menyatakan bahwa untuk melihat masa depan dari suatu negara bangsa maka lihatlah kaum mudanya. Kaum muda memang fenomenal. Sejarah menunjukkan bahwa Kaum Muda adalah agen perubahan mengenai banyak hal positif. Di abad ke duapuluh saja, tercatat pergolakan dan perlawanan kaum muda di Eropa dan Amerika Serikat telah mendorong peningkatan kesadaran tentang hak azasi manusia dan demokrasi. Di Indonesia sendiri, gerak sejarah republik ini juga mencatat eksistensi mereka dalam berbagai peristiwa nasional. Dimulai dari Budi Utomo 1908, Sumpah Pemuda 1928, proklamasi kemerdekaan 1945, penggulingan orde lama 1966, hingga reformasi 1998.
Namun, siapakah yang dimaksud Kaum Muda itu? Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), anak muda (dengan kata dasar “anak”) adalah orang yg masih muda; pemuda. Dengan kata dasar “muda” didapat kata pemuda adalah orang yang masih muda; orang muda: harapan bangsa. Sementara itu, badan PBB untuk anak-anak, UNICEF (United Nations Children's Fund), memberikan batasan usia penduduk “remaja” antara 10–19 tahun. BKKBN dalam “Country Report, 2012: Adolescent and Youth” menggunakan batasan usia 12–24 tahun untuk menyebutkan “Adolescent and Youth” dalam laporannya [1].
Sebagai harapan bangsa, Kaum Muda merupakan kelompok penduduk yang dipersiapkan menjadi pelaksana pembangunan. Kepada mereka dilengkapi pengetahuan dan keterampilan untuk mampu melaksanakan fungsi dan perannya dengan baik. Disamping perlindungan dari kekerasan, diskriminasi, dan eksploitasi serta jaminan kesehatan mental dan fisiknya, pendidikan dan pelatihan keterampilan menjadi aspek penting yang harus dimiliki oleh Kaum Muda. Di antara sekian banyak agenda pembangunan bangsa, pendidikan merupakan salah satu agenda penting dan strategis yang menuntut perhatian sungguh-sungguh dari semua pihak. Sebab, pendidikan adalah faktor penentu kemajuan bangsa di masa depan. Jika suatu bangsa berhasil membangun dasar-dasar pendidikan nasional dengan baik, maka diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap kemajuan di bidang-bidang yang lain. Pendidikan merupakan salah satu bentuk investasi modal manusia (human investment), yang akan menentukan kualitas sumber daya manusia (SDM) suatu bangsa.
Sumber ilustrasisoulmaks.com
Keberhasilan pembangunan suatu wilayah ditentukan oleh sumber daya manusia yang berkualitas. Karena pendidikan merupakan salah satu cara meningkatkan kualitas SDM tersebut, maka peningkatan mutu pendidikan harus terus diupayakan, dimulai dengan membuka kesempatan seluas-luasnya kepada penduduk untuk mengenyam pendidikan, hingga pada peningkatan kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana pendidikan. Untuk mengetahui seberapa banyak penduduk yang memanfaatkan fasilitas pendidikan dapat dilihat dari persentase penduduk menurut partisipasi sekolah. Untuk melihat partisipasi sekolah dalam suatu wilayah biasa dikenal beberapa indikator untuk mengetahuinya, antara lain: Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM). Angka Partisipasi Kasar (APK) menunjukkkan partisipasi penduduk yang sedang mengenyam pendidikan sesuai dengan jenjang pendidikannya. Angka Partisipasi Kasar (APK) merupakan persentase jumlah penduduk yang sedang bersekolah pada suatu jenjang pendidikan (berapapun usianya) terhadap jumlah penduduk usia sekolah yang sesuai dengan jenjang pendidikan tersebut. APK digunakan untuk mengukur keberhasilan program pembangunan pendidikan yang diselenggarakan dalam rangka memperluas kesempatan bagi penduduk untuk mengenyam pendidikan. APK merupakan indikator yang paling sederhana untuk mengukur daya serap penduduk usia sekolah di masing-masing jenjang pendidikan [3].
Sedangkan Angka Partisipasi Murni (APM) merupakan proporsi penduduk pada kelompok umur jenjang pendidikan tertentu yang masih bersekolah terhadap penduduk pada kelompok umur tersebut [2]. Dalam pengertian lain, APM adalah persentase jumlah anak pada kelompok usia sekolah tertentu yang sedang bersekolah pada jenjang pendidikan yang sesuai dengan usianya terhadap jumlah seluruh anak pada kelompok usia sekolah yang bersangkutan. Bila APK digunakan untuk mengetahui seberapa banyak penduduk usia sekolah yang sudah dapat memanfaatkan fasilitas pendidikan di suatu jenjang pendidikan tertentu tanpa melihat berapa usianya, maka Angka Partisipasi Murni (APM) mengukur proporsi anak yang bersekolah tepat waktu. Jika APM = 100, berarti seluruh anak usia sekolah dapat bersekolah tepat waktu [4].
Perlu diketahui bahwa berdasarkan Laporan UNESCO dalam Education For All Global Monitoring Report (EFA-GMR), Indeks Pembangunan Pendidikan Untuk Semua atau The Education for All Development Index (EDI) Indonesia tahun 2014 berada pada peringkat 57 dari 115. Laporan tersebut dibahas dalam  Rapat Koordinasi Nasional Pendidikan dan Pembelajaran Sepanjang Hayat Untuk Semua di Ungaran (08/07/2015) yang dieselenggarakan oleh Forum Koordinasi Nasional Pendidikan Untuk Semua (Forkornas PUS). Pada rapat tersebut disampaikan bahwa APK PAUD tahun 2013/2014 sebesar 68,10%,  APK SD sebesar 110,65% dan APM SD sebesar 93,3%, APK SMP sebesar 96,91% dan APM SMP sebesar 76,55% [5]. Hal ini berarti terjadi penurunan APK & APM SD sedangkan pada tingkat SMP terjadi kenaikan. Karena berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik) pada tahun 2010 angka APK SD sebesar 111,63% dan APM SD 94,72% sedangkan APK SMP sebesar 80,35% dan APM SMP 67,62%. Angka partisipasi kasar (APK) dan partisipasi murni (APM) biasanya nampak semakin menurun jika dilihat dari masing-masing jenjang pendidikan, hal ini sejalan dengan semakin meningkatnya usia Kaum Muda. Kaum Muda karena wajib belajar, berbondong-bondong mengikuti sekolah dasar sehingga proporsinya melebihinya 100 persen, pada jenjang-jenjang sekolah diatasnya mengalami penurunan yang sangat bermakna menjadi kurang dari 100 persen. Adanya selisih antara APK dan APM merupakan in-efisiensi dalam penggunaan sumberdaya pendidikan. Hal ini karena dengan semakin lebih besarnya APK daripada APM menunjukkan banyaknya Kaum Muda yang “terpaksa” masih bersekolah di setiap kelas dan jenjang pendidikan daripada kelompok usia yang ditunjukkan oleh APMnya [1].
Selain masalah adanya ketidakefisienan dalam penggunaan sumberdaya, pendidikan di Indonesia mempunyai masalah yang lebih urgent lagi karena ini menyangkut pada pribadi Kaum Muda yang semakin tidak menunjukkan pribadi bangsa Indonesia itu sendiri. Kaum muda merupakan generasi emas harapan bangsa sebagai penerus tongkat estafet kepemimpinan. Kesuksesan bangsa Indonesia di masa mendatang bertumpu pada optimisme generasi muda dalam membangun negerinya. Moralitas merupakan indikator penting untuk menilai kualitas generasi muda, karena kepribadian seseorang tercermin dari perilakunya. Krisis identitas ini sedikit banyak dipengaruhi oleh globalisasi dan perkembangan IPTEK yang belum bisa disikapi secara bijak oleh Kaum Muda Indonesia. Hal ini menyebabkan Kaum Muda sangat rentan terhadap narkoba, seks bebas dan hal negatif lainnya. Kaum Muda sekarang juga cenderung lebih menggilai budaya asing. Tidak sedikit dari mereka yang beranggapan bahwa kebudayaan Indonesia kuno dan membosankan, sehingga tidak banyak yang tertarik dalam mempelajari dan melestarikan kebudayaan Indonesia. Penggunaan bahasa daerah juga dianggap kampungan, sehingga mereka lebih tertarik untuk mempelajari bahasa asing. Kemajuan teknologi membuat Kaum Muda terjebak dalam kehidupan yang serba instant dan anti sosial. Kaum Muda menjadi kurang berinteraksi dengan lingkungan sosialnya dan lebih tertarik dengan dunia maya. Seringkali kita jumpai dalam suatu tempat terdapat beberapa orang yang duduk berdekatan, namun masing-masing dari mereka justru asik memainkan gadget-nya dan hanya sesekali berbicara dengan lawan bicaranya. Hal ini merupakan masalah sosial yang cukup serius, karena dapat menimbulkan sikap apatis terhadap lingkungan sosialnya. Seperangkat aturan saja tidaklah cukup untuk merubah keadaan. Perlu adanya revousi mental agar Kaum Muda mampu menyadari betapa pentingnya peranannya dalam menentukan arah masa depan negerinya. Di sinilah peran pendidikan menjadi sangat penting agar Kaum Muda tidak kehilangan kendali.
Sumber ilustrasi : www.hidupseimbangku.com
Proses pendidikan yang diselenggarakan pihak pemerintah maupun swasta harus mampu mendorong, membimbing, dan memberikan fasilitas belajar bagi siswa untuk menciptakan generasi yang berkualitas baik dari segi intelektual, emosional, dan spiritual. Disamping itu peran pemerintah maupun swasta sangat diperlukan dalam menciptakan program pengembangan potensi Kaum Muda, agar bakat-bakat yang dimiliki dapat disalurkan sesuai dengan bidang keahliannya masing-masing. Pemerintah seharusnya menyediakan anggaran dan mempermudah akses pemberian bantuan dana penelitian bagi Kaum Muda yang berkeinginan untuk mengeksplorasi kreativitasnya. Karena kendala utama yang dihadapi Kaum Muda dalam mengembangkan potensinya adalah mengenai keterbatasan dana yang dimiliki untuk melakukan penelitian. Ketidakresponsifan sikap pemerintah seringkali membuat Kaum Muda indonesia yang berbakat merasa tidak dihargai potensinya dan memilih pergi ke luar negeri untuk mengembangkan potensinya. Sebenarnya kualitas Kaum Muda Indonesia sangat mengagumkan, namun kemampuan ini tidak didukung oleh sumberdaya yag lain. Justifikasi negatif yang selalu melekat pada Kaum Muda dinilai sebagai pembunuhan karakter. Sebab tidak semua Kaum Muda Indonesia mengidap krisis identitas seperti pada umumnya. Masih ada bibit-bibit unggul yang dimiliki negeri ini, seperti Kaum Muda akademisi, atlet nasional, musisi, maupun wirausaha mandiri yang sukses menjalani bisnisnya. Peningkatan kualitas mutu Kaum Muda harus menjadi prioritas utama pemerintah Indonesia untuk meningkatkan daya saing dalam mengahadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang sudah dan sedang berjalan saat ini.
Agar upaya pemerintah dapat terlaksana dan memberikan manfaat secara maksimal maka perlu juga adanya peran dari diri Kaum Muda sendiri. Sebagai Kaum Muda, tidak bisa hanya menuntut pemerintah terkait kebijakan yang dikeluarkan dalam upaya pembangunan pendidikan bagi Kaum Muda, namun “pembangunan” juga harus dilakukan dari dalam diri pribadi Kaum Muda sendiri. “Pembangunan” yang dimaksud di sini adalah pembangunan karakter, moral, dan kepribadian individu. Kaum Muda jangan sampai seperti kacang lupa kulitnya, dilahirkan dan dibesarkan dalam naungan bumi pertiwi tapi lupa akan nilai pribadi kebangsaannya sendiri. Bangsa Indonesia sendiri sebenarnya telah memiliki nilai-nilai kepribadian luhur yang seluruhnya tersirat lengkap dalam dasar Negara Indonesia yaitu Pancasila. Untuk itu, sebagai individu, cinta tanah air menjadi hal wajib yang harus dimiliki oleh Kaum Muda. Karna bagaimana bisa Kaum Muda mampu menjadi pembangun bangsa jika bangsanya sendiri saja tidak dicintai dan dibanggakan? Maka dari itu cinta tanah air harus ditumbuh kembangkan sedari dini dalam diri Kaum Muda, sebab cinta tanah air inilah yang akan menjadi akar pembangunan karakter, moral, dan kepribadian Kaum Muda agar sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila. Nilai-nilai dalam Pancasila jika diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dapat menjadi tameng untuk menangkis dampak negatif dari perkembangan IPTEK yang ada agar tidak terjerumus dalam hal-hal yang negatif yang dapat merusak diri Kaum Muda Indonesia sehingga Kaum Muda dapat menjadi sosok yang memang diharapkan bangsa dan Negara sebagai generasi muda pelaksana pembangunan bangsa.

Sumber : idquote.info
Terkait dengan segala permasalahan Negara yang ada, pemerintah Indonesia selalu mengupayakan untuk meningkatkan pembangunan di segala bidang termasuk juga bidang pendidikan. Apalagi pendidikan telah terbukti penting bagi modal pembangunan suatu Negara. Lebih penting lagi pendidikan bagi pelaksana pembangunan yaitu para Kaum Muda. Namun, setiap upaya pembangunan yang dilakukan pemerintah sudah pasti tidak semuanya sempurna, tentu tetap saja ada kekurangan, tugas masyarakat termasuk Kaum Muda lah untuk mengkritisi kebijakan tersebut agar bisa menjadi masukan dan bahan evaluasi bagi pemerintah. Tapi Kaum Muda tidak boleh hanya mengkritisi saja, tapi juga harus ikut mendukung kebijakan pemerintah jika memang itu dinilai baik bagi kemajuan bangsa. Lebih bagus lagi jika mampu memberikan solusi yang mampu memaksimalkan kebermanfaatan kebijakan yang dilaksanakan pemerintah. Kaum Muda akan mampu melakukan itu jika ia pun mampu mengenal baik bangsanya sendiri. Maka dari itu adanya rasa cinta tanah air sungguh penting untuk ada dalam diri pribadi Kaum Muda. Rasa cinta tanah air ini bisa dikenalkan melalui pendidikan formal maupun informal. Karena jika dipahami betul, nilai-nilai pribadi luhur yang dimiliki bangsa Indonesia yang tersirat dalam Pancasila akan mampu mengeluarkan kebaikan-kebaikan dalam diri seseorang, akan mampu membentuk karakter indvidu yang bermoral, toleran, namun juga mampu memilah mana yang baik dan mana yang buruk bagi dirinya. Dan itulah yang perlu dimiliki oleh Kaum Muda agar bisa menjadi Kaum Muda Indonesia seutuhnya yang optimis dalam membangun negerinya.

Salam GenRe. J

Sumber:
[1] Juniati, Atie Tri & Budi Susetyo. 2008. Advokasi Isu Kaum Muda Indonesia. BKKBN.
[5] http://www.kemenkopmk.go.id/artikel/indonesia-peringkat-ke-57-edi-dari-115-negara-tahun-2014#sthash.XmqtMWzw.dpuf
read more

Sabtu, 19 Maret 2016

Pembangunan Berwawasan Kependudukan Dalam Rangka Pembangunan Berkelanjutan Indonesia

Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, penduduk harus menjadi titik sentral dalam pembangunan nasional Indonesia. Pembangunan nasioanal adalah upaya untuk meningkatkan seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang sekaligus merupakan proses pembangunan keseluruhan sistem penyelenggaraan negara untuk mewujudkan tujuan nasional. Dalam pengertian lain, pembangunan mewujudkan nasional dapat diartikan sebagai rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan nasional dapat diartikan sebagai rangkaian upaya pembangunan yang untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional.
Perkembangan jaman yang semakin pesat melahirkan tantangan yang harus dihadapi manusia semakin besar pula. Tidak hanya dalam satu Negara tetapi hampir di seluruh belahan bumi manapun. Adanya isu pemanasan global, isu perdagangan bebas, bahkan teknologi yang semakin berkembang pun dapat menjadi tantangan manusia saat ini. Karena teknologi memiliki dua sisi seperti pedang. Maka sebuah konsep bertahan harus dimiliki oleh manusia, begitu juga Negara sebagai tempat manusia ini bernaung. Hingga muncullah konsep pembangunan berkelanjutan.
Sumber: http://mascerdas.blogspot.co.id/2015/10/pembangunan-berkelanjutan.html
Sejarah lahirnya prinsip pembangunan berkelanjutan ditandai dengan terbentuknya World Commmission on Environment and Development (Komisi Dunia untuk Pembangunan dan Lingkungan) pada tahun 1984, yang diketuai oleh Ny. Gro Harlem Brundtland, Perdana Menteri Norwegia, selanjutnyaa komisi ini lazim pula disebut dengan Komisi Brundtland. Komisi ini bertugas untuk menganalisis dan memberi saran bagi proses pembangunan berkelanjutan, yang laporannya terangkum dalam buku Our Common Future, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi “Hari Depan Kita Bersama”. Komisi ini terdiri dari 9 orang mewakili negara maju dan 14 orang mewakili negara berkembang. Salah satu anggotanya adalah Emil Salim dari Indonesia, yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Pada tanggal 3 sampai 14 Juni 1992, PBB melakukan konferensi tentang Lingkungan dan Pembangunan (United Nations Conference on Environment and Development, UNCED) di Rio de Janeiro, Brasil atau yang lebih popular dengan Konferensi Tingki Tinggi Bumi di Rio (KTT Rio). Salah satu isu yang sangat penting yang menjadi dasar pembicaraan di KTT Rio adalah prinsip Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development).
Pengertian dari Sustainable Development menurut Komisi Brundtland adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhannya, dalam bahasa Inggris terumuskan berupa : if it meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs. Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu proses pembangunan yang secara berkelanjutan mengoptimalkan manfaat dari sumber alam dan sumberdaya manusia dengan cara menyerasikan aktivitas manusia sesuai dengan kemampuan sumber alam yang tersedia. Pembangunan berkelanjutan juga memiliki arti pembangunan yang terencana di segala bidang untuk menciptakan perbandingan ideal antara perkembangan kependudukan dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan serta memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa harus mengurangi kemampuan dan kebutuhan generasi mendatang, sehingga menunjang kehidupan bangsa.
Dengan demikian strategi pembangunan berkelanjutan bermaksud mengembangkan keselarasan baik antara umat manusia dengan alam. Keselarasan tersebut tentunya tidak bersifat tetap, melainkan merupakan suatu proses yang dinamis. Proses pemanfaatan sumberdaya, arah investasi, orientasi pengembangan teknologi, serta perubahan kelembagaan diselenggarakan secara konsisten dengan kebutuhan masa kini dan masa depan. Oleh karena itulah dalam pembangunan berkelanjutan, proses pembangunan ekonomi harus disesuaikan dengan kondisi penduduk serta sumberdaya alam dan lingkungan yang ada di suatu wilayah tertentu. Jadi, integrasi atau pembauran antara masalah kependudukan dan pembangunan nasional menjadi hal penting.
Ada beberapa alasan yang melandasi pemikiran bahwa kependudukan merupakan faktor yang sangat strategis dalam kerangka pembangunan nasional. Pertama, kependudukan, atau dalam hal ini adalah penduduk, merupakan pusat dari seluruh kebijaksanaan dan program pembangunan yang dilakukan. Dalam GBHN dengan jelas dikemukakan bahwa penduduk adalah subyek dan obyek pembangunan. Sebagai subyek pembangunan maka penduduk harus dibina dan dikembangkan sehingga mampu menjadi penggerak pembangunan. Sedangkan penduduk sebagai objek pembangunan yaitu penduduk sebagai sasaran dari hasil pembangunan. Pada hakikatnya pembangunan itu ditujukan untuk kemaslahatan manusia, maka dari itu hasil dari pembangunan harus dapat dirasakan manfaatnya oleh penduduk. penduduknya. Dengan demikian jelas bahwa pembangunan harus dikembangkan dengan memperhitungkan kemampuan penduduk agar seluruh penduduk dapat berpartisipasi aktif dalam dinamika pembangunan tersebut. Sebaliknya, pembangunan tersebut baru dikatakan berhasil jika mampu meningkatkan kesejahteraan penduduk dalam arti yang luas.
Kedua, keadaan dan kondisi kependudukan yang ada sangat mempengaruhi dinamika pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Jumlah penduduk yang besar jika diikuti dengan kualitas penduduk yang memadai akan merupakan pendorong bagi pertumbuhan ekonomi. Kualitas penduduk sangat terkait dengan kemampuan penduduk untuk dapat mengolah dan memanfaatkan sumber daya alam yang ada di sekitarnya, guna memenuhi kebutuhan hidup serta meningkatkan kesejahteraannya. Indikator kualitas atau mutu dari sumber daya manusia dapat dilihat dari beberapa aspek seperti; tingkat pendidikan, pendapatan, tingkat kesehatan, dan lain-lain. Sebaliknya jumlah penduduk yang besar jika diikuti dengan tingkat kualitas yang rendah, menjadikan penduduk tersebut sebagai beban bagi pembangunan. Ketiga, dampak perubahan dinamika kependudukan baru akan terasa dalam jangka yang panjang. Karena  dampaknya baru terasa dalam jangka waktu yang panjang, sering kali peranan penting penduduk dalam pembangunan terabaikan. Sebagai contoh,beberpa ahli kesehatan memperkirakan bahwa krisis ekonomi dewasa ini akan memberikan dampak negatif terhadap kesehatan seseorang selama 25 tahun kedepan atau satu genarasi. Dengan demikian, dapat dibayangkan bagaimana kondisi sumberdaya manusia Indonesia pada generasi mendatang, 25 tahun setelah tahun 1997. demikian pula, hasil program keluarga berencana yang dikembangkan 30 tahun yang lalu (1968), baru dapat dinikmati dalam beberapa tahun terakhir ini. Dengan demikian, tidak diindahkannya dimensi kependudukan dalam rangka pembangunan nasional sama artinya dengan “menyengsarakan” generasi berikutnya.
Kemudian lebih terkait dengan integrasi penduduk dengan pembangunan, perlu penguatan kebijakan dalam pembangunan berwawasan kependudukan. Apa yang dimaksud dengan pembangunan berwawasan kependudukan? Secara sederhana pembangunan berwawasan kependudukan mengandung dua makna sekaligus yaitu, pertama, pembangunan berwawasan kependudukan adalah pembangunan yang disesuaikan dengan potensi dan kondisi penduduk yang ada. Penduduk harus dijadikan titik sentral dalam proses pembangunan. Penduduk harus dijadikan subyek dan obyek dalam pembangunan. Pembangunan adalah oleh penduduk dan untuk penduduk. Makna kedua dari pembangunan berwawasan kependudukan adalah pembangunan sumberdaya manusia. Pembangunan yang lebih menekankan pada peningkatan kualitas sumberdaya manusia dibandingkan dengan pembangunan infastruktur semata.
Jargon pembangunan berwawasan kependudukan sudah lama didengar dalam bentuk dan format lain, namun masih mengalami banyak hambatan dalam pelaksanaannya. Sudah lama didengung-dengungkan mengenai penduduk sebagai subyek dan obyek pembangunan. Atau jargon mngenai pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Atau pembangunan bagi segenap rakyat. Sudah saatnya jargon tersebut diimplementasikan dengan sungguh-sungguh jika tidak ingin mengalami krisis ekonomi yang lebih hebat lagi dimasa mendatang. Dengan demikian, indikator keberhasilan ekonomi harus dirubah dari sekedar GNP atau GNP per kapita menjadi aspek kesejahteraan atau memakai terminologi UNDP adalah HDI (Human Development Index). Memang dengan menggunakan strategi pembangunan berwawasan kependudukan untuk suatu pembangunan ekonomi akan memperlambat tingkat pertumbuhan ekonomi. Namun ada suatu jaminan bahwa perkembangan ekonomi yang dicapai akan berkesinambungan (sustainable). Sebaliknya pertumbuhan ekonomi yang tinggi hanya akan membawa pada peningkatan ketimpangan pendapatan. Industrialisasi dan liberialisasi yang terlalu cepat memang akan meningkatkan efisiensi dan produktivitas namun sekaligus juga meningkatkan pengangguran dan setengah menganggur. [1]
Mengapa selama ini Indonesia mengabaikan pembangunan berwawasan kependudukan? Hal ini tidak lain karena keinginan pemerintah untuk mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi yang harus senantiasa tinggi. Pertumbuhan ekonomi menjadi satu-satunya ukuran keberhasilan pembangunan nasional. Walaupun Indonesia memiliki wawasan trilogi pembangunan yaitu pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas, namun pada kenyataannya pertumbuhan senantiasa mendominasi strategi pembangunan nasional. Strategi pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan tanpa melihat potensi penduduk serta kondisi sumberdaya alam dan lingkungan yang ada nyatanya tidaklah berlangsung secara berkesinambungan (sustained).
Sebenarnya perhatian pemerintah terhadap kependudukan dimulai sejak pemerintah Orde Baru memegang kendali. Konsep “Pembangunan Manusia Seutuhnya” yang tidak lain adalah konsep “Pembangunan Kependudukan” mulai diterapkan dalam perencanaan pembangunan Indonesia yang sistematis dan terarah sejak Repelita 1 pada tahun 1986. Namun sedemikian jauh, walaupun dalam tatanan kebijaksanaan telah secara sungguh-sungguh mengembangkan konsep pembangunan yang berwawasan kependudukan, pemerintah nampaknya belum dapat secara optimal mengimplementasikan dan mengintegrasikan kebijaksanaan tersebut.
Dalam hal  mengintegrasikan dimensi kependudukan dalam perencanaan pembangunan (baik nasional maupun daerah) maka manfaat paling mendasar yang diperoleh adalah besarnya harapan bahwa penduduk yang ada didaerah tersebut menjadi pelaku pembangunan dan penikmat hasil pembangunan. Itu berarti pembangunan berwawasan kependudukan lebih berdampak besar pada peningkatan kesejahteraan penduduk secara keseluruhan dibanding dengan orientasi pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan (growth). Dalam pembangunan berwawasan kependudukan ada suatu jaminan akan berlangsung proses pembangunan itu sendiri. Pembangunan berwawasan kependudukan menekankan pada pembangunan lokal, perencanaan berasal dari bawah (bottom up planning), disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat lokal, dan yang lebih penting adalah melibatkan seluruh lapisan masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan.
Pembangunan berwawasan kependudukan menurut pada strategi pembangunan yang bersifat ‘bottom-up planning’. Melalui pendekatan ini, tujuan utama seluruh proses pembangunan adalah lebih memeratakan kesejahteraan penduduk daripada mementingkan tingkat pertumbuhan ekonomi. Karena itu pendekatan ‘bottom-up’ berupaya mengoptimalkan penyebaran sumberdaya yang dimiliki dan potensial ke seluruh wilayah dan membangun sesuai dengan potensi dan masalah khusus yang dihadapi oleh daerah masing-masing. Pendekatan bottom-up mengisyaratkan kebebasan daerah atau wilayah untuk merencanakan pembangunan sendiri sesuai dengan keperluan dan keadaan daerah masing-masing. Pendekatan ini lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah. Otonomi daerah ini bertujuan agar setiap daerah mampu mengatur dan menjalankan berbagai kebijaksanaan yang dirumuskan sendiri guna peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah atau kawasan yang bersangkutan. Melalui otonomi daerah, yang berarti adalah desentralisasi pembangunan, maka laju pertumbuhan antar daerah akan semakin seimbang dan serasi, sehingga pelaksanaan pembangunan nasional serta hasil-hasilnya semakin merata di seluruh Indonesia.
Beberapa kata kunci yang perlu diberikan penekanan pada pembangunan daerah adalah (1) pembangunan daerah disesuaikan dengan prioritas dan potensi masing-masing daerah, dan (2) adanya keseimbangan pembangunan antar daerah. Kata kunci pertama mengandung makna pada kesadaran pemerintah untuk melakukan desentralisasi pembangunan terutama berkaitan dengan beberapa sektor pembangunan yang dipandang sudah mampu dilaksanakan di daerah masing-masing, berarti pengambilan keputusan pembangunan berada pada tingkat daerah. Kata kunci kedua mengandung makna adanya kenyataan bahwa masing-masing daerah memiliki potensi, baik alam, sumberdaya manusia maupun kondisi geografis yang berbeda-beda, yang menyebabkan ada daerah yang memiliki potensi untuk berkembang secara cepat. Sebaliknya ada pula daerah yang kurang dapat berkembang karwena berbagai keterbatasan yang dimilikinya. Adanya perbedaan potensi antar daerah ini menyebabkan peran pemerintah pusat sebagai ‘pengatur kebijaksanaan pemabngunan nasional’ tetap diperlukan agar timbul keselarasan, keseimbangan dan keserasian perkembangan semua daerah. Baik yang memiliki potensi yang berlebihan maupun yang kurang memiliki potensi. Dengan demikian, melalui otonomi dalam pengaturan pendapatan, sistem pajak, keamanan warga, sistem perbankan, dan berbagai pengaturan lain yang diputuskan daerah sendiri, pembangunan setempat dijalankan.
Sesuai dengan buku “Grand Design Pembangunan Kependudukan Tahun 2011-2035” yang dikeluarkan oleh Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, saat ini pembangunan kependudukan Indonesia lebih dipokokkan pada pengendalian kuantitas penduduk, pengingkatan kualitas penduduk, strategi pembangunan keluarga, pengarahan mobilitas penduduk, serta pembangunan sistem data dan informasi kependudukan.
Pengelolaan kuantitas penduduk pada dasarnya diarahkan untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk melalui pengaturan kelahiran. Kebijakan pengaturan kelahiran/fertilitas dilakukan melalui pemenuhan hak reproduksi untuk mencapai kesehatan reproduksi yang prima melalui program KB yang mengatur tentang: (1) Usia ideal perkawinan; (2) Usia ideal melahirkan; (3) Jarak ideal melahirkan; dan (4) Jumlah ideal anak yang dilahirkan.  Pengaturan fertilitas melalui program KB dilakukan dengan: (1) Peningkatan akses dan kualitas KIE serta pelayanan kontrasepsi di daerah. (2) Larangan pemaksaan pelayanan KB karena bertentangan dengan HAM, (3) Pelayanan kontrasepsi dilakukan sesuai dengan norma agama, budaya, etika dan kesehatan, serta (4) Perhatian bagi penyediaan kontrasepsi bagi penduduk miskin di daerah terpencil, tertinggal, dan perbatasan.
Selain pengaturan kelahiran, pengendalian kuantitas penduduk juga dilakukan dengan upaya penurunan mortalitas (angka kematian). Penurunan angka kematian bertujuan untuk mewujudkan penduduk tumbuh seimbang dan berkualitas pada seluruh dimensinya. Penurunan angka kematian ini diprioritaskan pada upaya (1) penurunan angka kematian ibu hamil, (2) penurunan angka kematian ibu melahirkan, (3) penurunan angka kematian pasca melahirkan, serta (4) penurunan angka kematian bayi dan anak.
Peningkatan kualitas penduduk mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi kesehatan dan dimensi pendidikan. Strategi di bidang kesehatan dilakukan untuk menurunkan angka kematian bayi dan anak serta keamtian maternal. Untuk itu, strategi utama yang harus dilakukan adalah melakukan pencegahan dan treatment penyakit infeksi, khususnya pada bayi dan anak-anak. Strategi penurunan kematian maternal sangat erat kaitannya dengan program KB sehingga strategi yang dijalankan untuk pelaksanaan program KB juga akan memberikan kontribusi terhadap penurunan angka kematian maternal. Dari sisi pendidikan, strategi yang harus dilakukan adalah memberikan akses yang sebesar-besarnya kepada kelompok rentan, khususnya penduduk miskin, untuk memperoleh pendidikan. Penurunan gender gap dalam hal akses terhadap pelayanan pendidikan juga penting sebagai prioritas, khususnya untuk mengatasi masalah di berbagai daerah yang masih lebar kesenjangan pendidikan antara laki-laki dan perempuan
Dalam konteks perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga perlu memperoleh perhatian khusus guna terlaksanannya pembangunan nasional yang berkelanjutan. Penempatan penduduk sebagai titik sentral pembangunan tidak saja merupakan program nasional namun juga komitmen hampir seluruh bangsa di dunia yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagaimana lertuang dalam Laporan situasi Kependudukan Dunia yang mengumumkan bahwa "penduduk bumi akan mencapai 7 (tujuh) milyar" tanggal 31 Oktober 20Il. Untuk melaksanakan perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga diperlukan suatu lembaga yang kuat [3].
Program pembangunan keluarga menjadi unggulan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional yang akan disinergikan bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Program pembangunan keluarga ditujukan untuk peningkatan ketahanan dan kesejahteraan keluarga. Program ini menyatu antara BKKBN dan Kementerian PPPA dari pusat sampai daerah. Pembangunan keluarga mempunyai sasaran yaitu seluruh keluarga Indonesia yang terdiri dari keluarga dan siklus keluarganya; keluarga yang memiliki potensi dan sumber kesejahteraan sosial; keluarga rentan secara ekonomi, sosial, lingkungan, maupun budaya; serta keluarga yang bermasalah secara ekonomi dan sosial psikologis. Strategi yang dilakukan yaitu dengan, (1) membangun keluarga yang bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa melalui pendidikan etika, moral, dan sosial budaya secara formal maupun informal, (2) membangun iklim berkeluarga berdasarkan perkawinan yang sah, (3) membangun keluarga harmonis, sejahtera, sehat, maju dan mandiri, (4) membangun keluarga berwawasan nasional dan berkontribusi kepada bangsa dan Negara melalui kegiatan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) keluarga, serta (5) membangun keluarga yang mampu merencanakan sumber daya dengan pendampingan manajemen sumber daya keluarga.
Selain itu, dalam upaya peningkatan kualitas anak dan balita program Bina Keluarga Balita atau BKB menjadi program bersama yang dikembangkan agar anak mendapatkan perlindungan dan pengasuhan yang baik dari keluarganya. Program ini merupakan upaya untuk mengingatkan para orang tua tentang pentingnya pengasuhan dan gizi anak di 1.000 hari pertama kehidupan. BKKBN juga meningkatkan berbagai program terkait remaja melalui generasi berencana (GenRe). GenRe merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas remaja dan khususnya perempuan. Tujuannya agar para remaja dapat terhindar dari seks bebas, napza dan HIV/AIDS. Program ini diharapkan mampu mendewasakan usia perkawinannya,  menghindarkan remaja putri dari kehamilan tidak diinginkan yang dapat meningkatkan kematian ibu [2].
Pengarahan mobilitas penduduk bertujuan untuk mewujudkan persebaran penduduk optimal yang didasarkan pada keseimbangan jumlah penduduk dengan daya dukung alam dan daya tampung lingkungan. Mobilitas penduduk dibagi menjadi 2 kategori, yaitu mobilitas penduduk internal dan mobilitas penduduk internasional.
Mobilitas penduduk internal mencakup hal-hal berikut: (1) Mobilitas penduduk permanen dan non permanen; (2) Mobilitas penduduk ke daerah penyangga dan ke pusat pertumbuhan ekonomi baru; (3) Penataan persebaran penduduk melalui kerjasama daerah; (4) Urbanisasi; dan (5) Persebaran penduduk ke daerah perbatasan dan daerah tertinggal serta pulau-pulau kecil terluar. Strategi pengarahan mobilitas penduduk dilakukan melalui pengupayaan peningkatan mobilitas nonpermanent dengan cara menyediakan berbagai fasilitas sosial, ekonomi, biudaya, dan administrasi di beberapa daerah yang diproyeksikan sebgai daerah tujuan mobilitas penduduk, serta untuk mengurangi mobilitas penduduk ke kota megapolitan, seperti Jakarta dan supaya hal itu tidak terulang di luar Jawa, perlu adanya penataan wilayah penyangga dengan mengembangkan daerah tujuan transmigrasi yang secara khusus diintegrasikan dengan kota besar sekitarnya. Transmigrasi seharusnya tidak terkesan membuang penduduk ke wilayah terpencil, tetapi benar-benar menonjolkan napas distribusi penduduk.
Mobilitas penduduk internasional dilaksanakan melalui kerjasama internasional dengan Negara pengirim dan penerima migran internasional ke dan dari Indonesia sesuai dengan perjanjian internasional yang telah diterima dan disepakati oleh pemerintah.
Dalam pembangunan sistem data dan informasi kependudukan, kebijakan umum pembangunan database kependudukan dilakukan dengan mengembangkan database kependudukan yang memiliki akurasi dan tingkat kepercayaan yang tinggi serta dikelola dalam suatu sistem yang integratif, mudah diakses oleh para pemangku kepentingan, serta menjadi bagian dari Decision Support System (DSS). Kondisi ini didukung oleh penguatan kapasitas sumber daya manusia yang memiliki kompetensi tinggi, infrastruktur yang memadai, serta sistem kelembagaan yang kuat. Penerapan sistem informasi administrasi kependudukan daring diatur dalam Keputusan Presiden (Keppres) No. 88/2004 tentang pengelolaan administrasi kependudukan, Undang-Undang (UU) No. 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan dan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 18/2005 serta Peraturan Pemerintah (PP) No. 37 tahun 2007 tentang administrasi kependudukan.
Pencatatan data penduduk suatu daerah yang melalui sistem informasi administrasi kependudukan menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten dan kota dimana dalam pelaksanaannya diawali dari desa dan kelurahan sebagai awal dari pendataan penduduk disuatu daerah. Selanjutnya data-data tersebut akan disimpan kedalam satu basis data yang terintegrasi secara nasional melalui jaringan internet. Sehingga data-data tersebut menjadi sumber basis data kependudukan secara nasional yang selanjutnya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. sesuai dengan Undang-Undang (UU) No. 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan, SIAK adalah sistem informasi yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk memfasilitasi pengelolaan data kependudukan ditingkat Penyelenggara dan Instansi Pelaksana sebagai satu kesatuan yang selanjutnya memasukan data-data tersebut kedalam satu pusat data (data center) di Direktorat Jenderal Administrasi Kependudukan. Pengadaan program e-ktp merupakan salah satu contoh nyata penerapan pembangunan sistem data dan informasi kependudukan yang dapat mempermudah dalam pengumpulan informasi administrasi kependudukan.
Sebagai warga Negara yang baik, seyogyanya rakyat Indonesia ikut serta mendukung berbagai rencana upaya yang dilakukan pemerintah dalam rangka mewujudkan pembangunan yang berwawasan kependudukan dan tentu dengan tetap mengawasi berjalannya kebijakan tersebut agar seluruh rakyat Indonesia dapat merasakan manfaat dari kebijakan yang ada yaitu berupa kesejahteraan yang merata.
Salam GenRe. J

Sumber:
[1] Tjiptoherijanto, Prijono. 2002. Dimensi Kependudukan dalam Pembangunan Berkelanjutan. Diakses pada http://documents.tips/download/link/kependudukan-dan-pembangunan-berkelanjutan-562bad7e405fc
[2] BKKBN Unggulkan Program Pembangunan Keluarga diakses dalam http://klikpositif.com/klik/detil/12011/bkkbn-unggulkan-program-pembangunan-keluarga.html
[3] Peraturan Pemeritah Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2014 Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Keluarga Berencana, dan Sistem Informasi Keluarga.
Grand Design Pembangunan Kependudukan Tahun 2011-2035 dalam http://www.slideshare.net/OswarMungkasa/buku-1-a5-gabung
Grand Design Pengendalian Kuantitas Penduduk dalam http://www.bkkbn.go.id/kependudukan/DITJAKDUK/Grand%20Design%20Pengendalian%20Kuantitas%20Penduduk/GRAND_DESIGN_PENGENDALIAN_KUANTITAS_PENDUDUK.pdf


read more
Blogger Template by Clairvo